Cerita Featured Kisah Kyai Pamungkas Uncategorised Uncategorized

Kisah Kyai Pamungkas: TERJEBAK NAFSU HANTU

Kisah Kyai Pamungkas: TERJEBAK NAFSU HANTU

Nyata sekali aku merasakan kehadiran sesuatu yang mengusap dan meraba tubuhku dengan demikian buas. Tak sejengkalpun tubuhku luput dari sentuhan balutan sensasi birahi. Aku menggeliat nikmat. Sekujur ototku meregang. Syaraf birahiku terbakar tanpa sanggup kutahan…

 

Jogjakarta, tiga tahun silam… Tekadku sudah bulat. Keputusasaanku untuk memulai kehidupan baru di Jogjakarta, kota tempat kelahiran mamaku, telah kuniati dengan sepenuh hati, setelah apa yang dilakukan Kelly, tunanganku telah benar-benar membuat hatiku rompal berceceran. Pintu maafku telah tertutup untuk perempuan lacur macam Kelly. Tidak untuk kehidupan kini ataupun kehidupan nanti. Nama Kelly telah terkubur hiduphidup di jurang dendam dan amarahku. Hatiku koyak. Sesungguhnya, Kelly adalah belahan hatiku yang tak tergantikan oleh apapun dan siapapun. Selama ini kecintaanku hanya tercurah pada Kelly seorang. Cinta pertama. Hhh… taik kucing!

 

Aku mendesah panjang, mencoba mengusir sesak yang memenuhi rongga dada. Kutahan air mata yang tiba-tiba saja menggenang di sudut mataku. Kualihkan perhatian dengan kembali bersibuk diri mengeluarkan setumpuk pakaian dari dalam tas besar untuk kutata kedalam lemari kayu jati di sudut kamar. Perjalananku semalam dengan kereta api Argo Lawu telah menyedot sebagian energi tubuhku. Yang tersisa hanya letih dan rasa kantuk yang sangat, setelah semalaman mataku tak juga bisa kupejamkam barang semenitpun!

 

Kembali anganku melayang ke Jakarta. Seraut wajah blasteran milik Kelly seolah enggan beranjak dari pelupuk mataku. Andai saja Kelly punya cukup moral untuk menjunjung tinggi arti sebuah kesetiaan dan kepercayaan, tentu semua tidak akan berakhir menyakitkan seperti ini.

 

Lamunanku buyar ketika telpon berdering nyaring. Sedikit tergopoh, aku berlari kecil menuju ruang tengah. Tanpa ekspresi kuangkat gagang telpon. Suara mama dari kejauhan sana terdengar jelas menanyakan segala sesuatunya berkaitan dengan perjalanan darat yang baru saja aku lewati ke Jogjakarta. Tak hanya itu, dengan gencar mama pun bertanya kepadaku apakah aku sudah makan, apakah aku tidak telat minum obat maag, apakah ini, apakah itu…. sampai mengenai persiapan kuliah S2-ku. Itulah mama. Mungkin karena aku anak semata wayang hingga membuat mama selalu merasa khawatir saat aku berada jauh dari rumah. Padahal saat itu umurku sudah 27 tahun, tapi mama tetap saja memperlakukan aku seperti anak kecil.

 

“Besok siang, Ma… Bram registrasi ke UGM. Ya, mungkin jam sepuluhan!” jawabku lugas saat mama bertanya kapan aku mengurus kuliah baruku.

 

Kuakui dengan jujur, memang bukan perkara yang mudah bagiku untuk memutuskan kembali meneruskan kuliah S2 di Jogjakarta, apalagi meninggalkan pekerjaan mapanku di sebuah perusahaan asing yang selama ini menjadi kebanggaan dan nafas hidupku di Jakarta. Bahkan sedetikpun aku tidak pernah bermimpi akan tinggal sendirian di kota ini dan melakukan segala sesuatunya sendiri. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Biarlah orang menganggapku cengeng dan pecundang yang melarikan diri dari masalah. Tapi sungguh, di setiap sudut kota Jakarta hanya mengingatkan aku kepada Kelly. Aku ingin berhenti berpikir tentang Kelly. Dan di Jogjakarta ini aku ingin memulai lembaran baru dengan melupakan Kelly.

 

Aku melangkahkan kaki menyusuri kamar demi kamar rumah tua yang terletak di kawasan kota baru Jogjakarta. Meski bangunan dan perabotnya terkesan kuno, namun berkat sentuhan tangan Pak Bagio semua yang ada di rumah tua ini tampak bersih dan terawat, Diam-diam dalam lubuk hati aku jujur mengakui, rumah tua bekas milik Pakde Haryokusumo, kakak kandung mama yang telah lama kosong dan baru beberapa minggu lalu dibeli oleh mamaku itu terasa angker. Namun anennya, hatik tak dapat mengingkar, sejak mengn jakkan kakiku sore tadi di halaman rumah ini, hatiku langsung tenteram seolah diliputi perasaan tenang, damai, teduh. Rasanya aku seperti menemukan tempa tinggal yang selama ini aku mimpi-mimpikan. Langit-langit yang tinggi, jende a yang besar, lantai keramik bercorak klasik perabotan kuno… yang kesemuanya bergaya Belanda. Sungguh, aku telah jatuh hati dengan rumah yang dulunya milik seorang pejabat di zaman kolonial Belanda. Dalam hati aku bersyukur, mama membelikan rumah tua ini untukku.

 

Entahlah apa yang membuat Pakde Haryo enggan menempati rumah yang tampaknya cukup mewah di zamannya itu. Seingatku hanya beberapa minggu saja Pakde Haryo sempat menempati rumah ini sebelum kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke rumah lama di kawasan Tamansari. Dan sampai akhir hayatnya, praktis Pakde Haryo boleh dikatakan tidak pernah menikmati kenyamanan rumah Belanda yang memiliki empat kamar besar ini. Demikian pula dengan Mas Dewo, putra semata wayang Pakde. Rumah ini terbiarkan kosong. Hanya Pak Bagio, tukang kebun yang tinggal disana untuk merawat dan membersihkan isi rumah. Itupun tidak setiap hari, karena sebagai seorang suami Pak Bagio juga dituntut menafkah batini isterinya. Dengan kata lain, tidak setiap hari Pak Bagio menginap.

 

Udara Jogjakarta malam itu terasa sedikit dingin. Tak ada yang kulakukan selain berbaring di kamar sambil mendengarkan radio. Ingin hati ini menghabiskan malam dengan berlesehan di Malioboro, menikmati gudeg dan udara malam Jogja. Namun niat itu hanya tinggal niat belaka, terkalahkan oleh rasa letih yang mendera tubuhku, Di sisi lain, rasanya aku malas pergi sendirian tanpa teman. Untuk menghubungi Mas Dewo Sepupuku, rasanya sungkan.

 

“Bener nih Mas Bram berani tingga sendirian….?” tanya Pak Bagio setengah meledek sembari menyodorkan sebungkus nasi padang kegemaranku untuk ma kan malam. Ada sesuatu yang sengaja ditekan dalam kalimat yang diucapka” Pak Bagio. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

 

“Memangnya ada kok sendirian.” jawabku biasa tahu dari sorot matanya. Aku Pak Bagio sedang menggodaku serius, hal-hal berbau mistis. Akhirnya, lelaki tua berambut itu berlalu sambil senyum simpul. Matanya berkilat menyembunyikan sesuatu dariku.

 

Setelah kepergian Pak Bagio, malam itu suara khas Nicky Astria yang melantun tembang Bias Sinar semakin mencekik relung hatiku, meremas-remas ingatanku akan sosok Kelly. Tak terasa jam telah menunjuk pada pukul 22.30 malam. Suasana di luar rumah sepi seolah tak ada tanda kehidupan. Udara semakin dingin menggigit sumsum. Tak biasa memang. Setahuku, Jogja bukanah kota berhawa dingin. Hanya suara jengkerik malam yang terdengar mendering dari taman di halaman depan. Dengan malas kubuka agendaku, sekedar membuang jenuh yang menumpuk di kepala, berharap pagi segera menjelang.

 

Entahlah, malam itu kurasakan demikian panjang dan melelahkan. Baru beberapa lembar halaman agenda kubuka, mataku langsung terasa berat menahan kantuk. Kuurungkan niat untuk menulis rencana kegiatan esok pagi di agendaku seperti yang selama ini biasa aku lakukan. Melihat kasur dan bantal, ingin rasanya tubuh ini langsung rebah melepas penat.

 

Saat hendak kubaringkan tubuhku di atas kasur, sayup-sayup telingaku mendengar sebuah suara asing yang memanggil-manggil namaku. Lembut dan mendayu. Sesaat aku terdiam dengan pikiran yang berkecamuk tanda tanya. Jantungku berdegup. Bulu kudukku meremang tanpa kuminta. Akal sehatku mengatakan mustahil bagi Pak Bagio atau Mas Dewo malam-malam datang hanya untuk menjengukku! Tidak mungkin!

 

Berulangkali kuyakinkan telingaku dengan seksama untuk mendengarkan suara aneh yang semakin lama terasa demikian dekat. Kadang mendesah, kadang berdecak… kadang berguman dengan bahasa yang asing di telingaku.

 

Keringat dingin mengucur tanpa mampu kutahan. Suara itupun semakin jelas memanggil namaku dengan artikulasi huruf “R” yang cedal. Dan aku yakin, dengan segala kesadaranku suara itu bukan suara orang Indonesia lazim nya yang fasih mengeja nama Bra.

 

Kembali jantungku berdegup kencang. Sekujur tubuhku merinding, tiba-tiba lagi genap rasa ingin tahuku, Angin desaja aku merasakan hembusan lembut menerpa wajah lembutnya hingga membut terpejam sesaat. Di antara batas hayalah, sekonyong-konyong syaraf hidung dipenuhi aroma wewangian parfum yang begitu feminin, Sangat feminin! Aneh! rasa takut yang kurasakan tiba-tiba saja sirna diganti rasa tentram, tenang dan melayang seperti terbuai. Aku mencoba dan berusaha keras untuk tetap sadar dan berpikir dengan akal sehatku. Namun yang kurasakan justru kepalaku terasa semakin kosong, ringan dan terbang.

 

Kembali kupejamkan mata, kunikmati sepuas-puasku keharuman nan seksi yang entah dari mana datangnya. Untuk beberapa lama anganku terasa terbang jauh menembus batas syahwatku. Seluruh permukaan kulitku meremang.

 

Nyata sekali aku merasakan kehadiran sesuatu yang mengusap dan meraba tubuhku dengan demikian erotis. Tak sejengkalpun tubuhku luput dari sentuhan penuh balutan sensasi birahi. Aku menggeliat nikmat. Sekujur ototku meregang. Syaraf birahiku terbakar tanpa sSanagup kutahan. Satu demi satu kurasakan pakaianku tanggal dengan sendirinya hingga akhirnya aku benar-benar telanjang bulat.

 

Lagi-lagi di batas kesadaran, tanpa aku tahu dari mana datangnya tiba-tiba di depanku telah berdiri seorang bule berwajah sangat tampan dengan kumis bergaya bangsawan. Mata birunya menyorot penuh kelembutan merasuk relung hatiku. Ia tersenyum manis seraya menjabat erat tanganku. Semua yang ‘a kenakan serba mewah dan indah. Dan dari pakaian yang dikenakannya itu, aku hanya bisa mengira-ngira, mungkin saja dia adalah seorang bangsawan Belanda. Aroma yang ia tebarkan sungguh membuatku mabuk kepayang.

 

Sumpah, aku bukan seorang homoseks! Aku bukan gay! Tapi olala… kenapa tiba-tiba aku jatuh cinta dengan lelaki asing di depanku yang aku sendiri tidak tahu siapa. Yang kurasakan hanyalah pancaran mata yang sungguh menghanyutkan gelora nafsuku. Terlebih perawakannya yang tinggi besar itu benar-benar telah mengundang hasratku untuk bercinta. Sepasang mata elangnya telah demikian meyakinkanku akan membawaku kepada puncak asmara yang demikian aku rindukan. Aku mengangap kutub birahiku terusik…

 

” “Brammm…. Braaaammm!” desisnya lembut. Sebentuk bibir ranum berwarna merah muda itu benar-benar telah membiusku. Kembali bule tampan itu tersenyum penuh arti. Alis matanya terangkat dengan jenaka. Tanpa banyak bicara, bule itupun menanggalkan satu demi satu pakaian yang melekat di tubuhnya. Mataku terpaku penuh takjub menelusuri lekuk-lekuk tubuh. pria asing di depanku yang tampak begitu sempurna. Geloraku melayang.

 

“Saya Rudolf, Rudolf Smith, selamat datang di rumah saya… kita akan menjadi sepasang kekasih…!” ucapnya lembut. Dengan penuh hasrat, Rudolf memelukku dan mencumbuku. Aku pasrah. Bibir lembutnya menjelajah seluruh tubuhku, memberiku sebuah rasa yang seumur hidupku belum pernah aku rasakan. Nafasnya yang memburu seolah lokomotif kereta api yang tak kenal lelah. Tak dapat kulukiskan kenikmatan yang kurasakan saat itu. Kami bergumul dan terus bergumul dengan permainan seks yang tak berkesudanan. Kami terus berpacu mendaki kenikmatan. Entah berapa kali aku merasakan kenikmatan itu.

 

Tiap kali titik kenikmatan itu tercapai, dengan kelembutannya Rudolf mengulang dan terus mengulang permainan cinta dari awal.

 

“Brammm…. Mau kamu ikut saya ke Netherland?” Rudolf berbisik di telingaku. Aku menggeleng. Rudolf tersenyum kecil menatapku. Pandangan matanya benar-benar merontokkan jantungku.

 

“Aku harus ke UGM untuk registrasi,” jawabku lugu. Kembali bibir Rudolf menyungging senyum. Dan untuk kesekian kalinya, ia kecup bibirku mesra. Tangannya yang kekar penuh bulu bergelayut manja di bahuku. Mengusap permukaan kulitku.

 

“Baik, besok saja kita pergi Sekarang tidurlah. Saya mau mandi… tidurlah kekasihku…!” hanya itu yang dikatakan Rudolf sebelum beranjak meninggalkanku tergolek sendiri di ranjang. Sebuah kecupan jauh ia lemparkan kepadaku sebelum tubuh tegap itu menghilang di balik pintu. Akupun terlelap penuh kenikmatan dengan senyum terulas. Batinku terasa demikian damai, begitu damainya hingga seolah-olah aku merasakan keikhlasan yang tulus untuk mati. Tak ada yang kuingat selain taman bunga, jalan lurus seperti lorong, awan putih dan orang-orang asing…

 

Hari itu, saat kubuka mataku, di sampingku tampak mama dengan mata basah dan sembab tak henti-hentinya menciumiku. Sementara papa hanya duduk membisu di bibir ranjang seraya memijit kakiku. Kedua kelopak mata tuanya tampak bengkak karena terlalu banyak menangis. Bibirnya bergetar tak henti-henti berucap syukur.

 

Aroma khas rumah sakit langsung menusuk hidungku, menyadarkanku di mana saat ini aku berada. Belum sempat mulut ini bertanya, jemari lembut mama telah mengunci bibirku, mengisyaratkan aku untuk diam. Kurasakan sekujur tubuhku serasa remuk. Semua sendiku rasanya nyaris copot. Sementara memar dan luka gores tampak rata menghiasi kulit di sekujur tubuhku.

 

“Alhamdulilah, Mas Bram sudah sadar. Hampir tiga hari Mas Bram koma. Kok bisa-bisanya to mas, tidur telanjang di pintu gerbang, jadi tontonan ibu-ibu Iho!” dengan lugunya Pak Bagio nyerocos. Aku bengong, Jadi malam itu aku..! Rudolf..? Astaghfirullah! Tak sanggup kuteruskan semua itu. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: bomoh.online
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Kyai Pamungkas: ILMU TITISAN RATU BUAYA

KyaiPamungkas

Kyai Pamungkas: JASA PARANORMAL No.1 di INDONESIA

KyaiPamungkas

TANDA ADA MAHLUK HALUS, DAN CARA MENANGKALNYA

KyaiPamungkas
error: Content is protected !!