Cerita Featured Kisah Kyai Pamungkas Uncategorised Uncategorized

Kisah Kyai Pamungkas: DIPERBUDAK CINTA

Kisah Kyai Pamungkas: DIPERBUDAK CINTA

SEBAGAI seorang perempuan, kondisi fisikku mungkin memang kurang beruntung. Menurut penilaianku sendiri, aku jauh untuk dikatakan cantik, meski sesungguhnya aku tidaklah terlalu jelek. Kala kutatap wajahku di dalam cermin, kulihat ada garis-garis kecantikan di sana. Aku memiliki sepasang bola mata yang bagus, dengan alis hitam bagai semut beriring. Hidungku juga tidak pesek-pesek amat. Setidaknya normal untuk ukuran orang Asia. Model bibirku juga bagus. Kata orang seperti belah manggis.

 

Namun, seluruh potensi yang ada di wajahku itu seakan tidak berarti apa-apa. Semuanya tenggelam ketika orang melihat bentuk tubuhku yang memang tidak proporsional. Bayangkan, dengan tinggi . hanya kurang lebih 155 Cm, bobot badanku bisa mencapai 80 Kg. lebih. Dengan data ini maka gampang ditebak kalau aku adalah perempuan yang kelebihan berat tubuh. Tentu bisa dibayangkan bagaimana kocaknya diriku. Gendut, gembrot, jumbo, dan semua kata-kata yang sepadan dengannya.

 

Jujur saja, aku sering kali dibuat minder dengan keadaan tubuhku. Namun, di selasela keminderan itu, aku juga masih bisa menumbuhkan rasa percaya diri bila kusadari bagaimana posisiku sekarang ini. Aku adalah perempuan dengan karir yang amat cemerlang. Tak perlu kusebutkan di mana aku bekerja. Yang pasti, dengan posisi serta jabatanku saat ini, maka uang bagiku bukanlah masalah. Gaji dan berbagai intensif lain dari perusahaan atas prestasi kerjaku, sudah lebih dari cukup, bahkan bisa untuk memanjakan diriku dengan gelimang kemewahan.

 

Mungkin, hanya satu kekuranganku. Yaitu tadi, bobot tubuhku yang berlebihan. Masalah inilah yang bisa jadi membuatku seringkali merasa minder. Namun, keminderan itu bisa aku tutupi dengan semua yang kumiliki. Toh, dengan uang sesungguhnya aku bisa memilik pria setampan Arjuna sekalipun. Tetapi, aku sungguh tidak membutuhkan seorang pria dalam hidupku. Hidup ngejomblo jauh lebih menyenangkan bagiku.

 

Gara-gara masalah obesitas, memang pernah juga muncul keinginan untuk melangsingkan tubuhku. Berbagai program diet, baik yang berbasis medis maupun alternatif pernah kucoba. Tapi hasilnya selalu saja nihil. Paling banter aku hanya bisa menurunkan bobot 1 sampai 2 Kg. Itu pun dengan diet yang amat ketat, sampai pernah membuatku sakit segala.

 

“Masalah obesitas memang bisa juga disebabkan oleh faktor genetik. Untuk kasus ini biasanya orang akan sangat sulit menurunkan berat badannya. Jika dipaksakan mengikuti program diet yang ketat, maka akan ada resik, yang muncul. Bisa gangguan pada lambung, namun yang paling parah adalah serangan jantung. Nah, resiko inilah yang mungkin Anda hadapi.”

 

Demikianlah paparan seorang dokter yang pernah merawatku saat aku terbaring sakit gara-gara harus melakukan diet yang amat ketat. Pengalaman ini membuatku kapok memimpikan punya tubuh langsing. Lagian, kalau dipikir-pikir apa yang dikatakan oleh dokter itu benar juga. Kegemukan yang kualami memang karena faktor genetik. Baik Papa, Mama, kakak serta kedua orang adikku semuanya bertubuh subur seperdiriku, Bahkan dulu ada teman SMA-ku yang menyebut keluargaku dengan sebutan spesial: Keluarga Jumbo!

 

Entah bagaimana sampai kami sekeluarg semuanya gemuk-gemuk. Menurut cerita Paman semua juga bertubuh tambun. Begitu juga saudara saudara Papaku. Kalau mereka kumpul, mereka sering mangolok-olok kegemukannya sendiri sehingga sering memunculkan joke-joke lucu. Tetapi mereka sepertinya tidak pernah merasa salah dengan kegemukan itu. Dulu sewaktu masih tinggal di kota kelahiranku, Palembang, aku juga tidak peduli dengan bobot tubuhku. Bagiku yang terpenting adalah bagaimana menunjukkan prestasi yang terbaik. Mungkin karena itulah aku selalu gigih belajar, sehingga dari SD hi SMA aku selalu meraih juara umum. Banyak temanku yang merasa iri dengai prestasi belajarku. Di samping itu, banyak juga di antara mereka yang sering bisik-bisi membicarakan kegendutanku. Tapi aku tak peduli. Dengan prestasiku yang menjadi pe SMA teladan se-Kota Palembang, aku sudal cukup bangga sebab hampir semua siswa dan guru mengenalku. Aku tidak memikirkan apakah ada cowok yang naksir padaku ata tidak sama sekali. Waktu itu, tak sedikitpun terbetik keinginanku untuk main pacar-pacaran, seperti teman-teman cewekku yang lain. Pokoknya yang ada dalam otakku adalah belajar… belajar… dan belajar. Karena prestasiku yang amat brilian, selepas SMA aku langsung diterima kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) yang ada di Jakarta, tanpa harus melalui ujian, yang ketika itu disebut Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Aku masuk ke PTN itu lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK), yang didasarkan pada prestasi belajarku yang melompat dari waktu ke waktu. Semasa menjadi mahasiswi, aku juga tak pernah peduli dengan yang namanya cowok dan cinta, pacaran dan sebangsanya. Aku benar-benar menjadi kutu buku. Karena itu tak heran juga nilai-nilaiku semuanya nyaris sempurna. Dan sekali lagi, karena prestasiku, menjelang semester akhir sebuah BUMN sudah menanti fasilitas ikatan dinas. Begitu lulus kuliah dan meraih gelar Sarjana Ekonomi dengan IPK di atas rata-rata, aku langsung bekerja di BUMN itu. Namun karena gaji yang diterima kuanggap kurang, aku pindah bekerja ke PMA yang bersedia memberi semuanya dengan lebih layak bagiku terlebih lagi mereka mau ️memberikan pergantian biaya ikatan dinas pada BUMN tempatku bekerja sebelumnya. Di perusahaan PMA yang tidak bisa kusebutkan namanya ini, karirku terus menanjak, sehingga posisiku seperti sekarang ini.

 

Juli tahun ini usiaku sudah menginjak 33 tahun. Sesungguhnya usia yang masih relatif muda, dan belum bisa dikatakan telat membina rumah tangga untuk wanita karir seperti diriku yang hidup di tengah belantara Jakarta. Bahkan, ada teman sejawatku yang sudah berusia 35 tahun dan mengaku sama sekali belum memikirkan untuk membina kehidupan berumah tangga.

 

Untuk apa menikah? Kehadiran pria dalam kehidupan perempuan seperti kita justeru akan merepotkan. Mereka kan maunya serba dilayani. Bagaimana kalau kita tidak bisa melayaninya dengan baik? Wah, pasti dia selingkuh. Ini akan menyakiti perasaan kita. Ujung-ujungnya pasti cerai. Urusannya ribet, makan waktu! Belum lagi urusan harta gono-gini. Waaah… bisa bikin kepala pecah pokoknya.

 

Begitulah kata temanku itu. Secara normatif memang tidak sepenuhnya benar. Tetapi bagi perempuan seperti diriku, apa yang dikatakan sang teman itu memang patut jadi pertimbangan. Dan, pertimbangan ini pulalah yang pada akhirnya memunculkan gagasan bahwa memang lebih enak hidup sendirian.

 

Ya, untuk apa menikah kalau ternyata aku sendiri telah bisa memenuhi semua kebutuhanku? Bukankah salah satu motif menikah adalah karena faktor ekonomi? Lantas apa perlunya seorang wanita yang sudah mapan seperti diriku menikah? Apakah hanya untuk soal seks? Ah, ️persetan dengan yang satu ini, untuk mendapatkan seks orang harus menikah? Berdosa, bukankah tak ada seorang insan di kolong jagad ini yang tidak berdosa?

 

Pertimbangan itulah yang membingkai pendirianku pada bahwa aku selamanya akan hidup. Barangkali, ini sebuah pilihan. Tetapi, untuk bisa melanjutkan bukankah seseorang harus menentukan pilihan?

 

Memang, aku tersudut, bahwa tugas utama kehidupan adalah untuk melanjutkan keturunan. Untuk melaksanakan tugas ini tidak selamanya seorang perempuan melahirkan anak dari rahimnya, dengan uang yang kumiliki aku bisa saja adopsi seorang anak, dan anak itulah yang akan menjadi regenerasiku.

 

Ketika pilihan untuk hidup single parent telah kutetapkan mantap, tiba-tiba saja badai tanpa ada angin tidak ada hujan. Mama memintaku pulang ke Palembang. Tanpa berfikir macam-macam kululuskan permintaan itu walau harus kutinggalkan segala pekerjaan di Jakarta, Tetapi, apa yang terjadi?

 

“Mama dan Papa berharap kamu menikah, sebab adik bungsumu dilamar orang. Mama tidak ingin kamu dilangkah untuk kedua kalinya, berarti sebuah pertanda buruk, kau harus segera menentukan menjadi calon suamimu. Mama Papamu pasti akan menyetujuinya.”

 

Permohonan yang penuh harap itu bagaikan petir yang menyambar dadaku. Aku tertunduk dalam kegalauan, dengan tak sedikitpun ada keberanian untuk mendebat harapan kedua orang yang amat kucintai dan kuagung-agungkan itu. Bagiku, Papa dan Mama adalah segalanya. Semenjak kecil kami kakak beradik sudah dididik untuk menghormati mereka. Karena itulah tak seorang pun dari kami yang berani membantah setiap keinginan dan harapan mereka. Begitu pula halnya dengan diriku, walau kini aku bukanlah gadis kecil seperti puluhan tahun yang lalu.

 

“Aku tak boleh dilangkah untuk kedua kalinya, sebab ini bukan saja aib tapi sekaligus juga pertanda buruk.” Begitulah keyakinan Papa dan Mama. Meski mereka telah memeluk Islam, bahkan keduanya telah bertitel mulia sebagai Haji dan Hajjah, namun mereka tetap memegang teguh adat dan kepercayaan leluhur. Aku yang sejak lahir telah memeluk Islam juga tak dapat membantahnya.

 

Aku adalah anak kedua dari empat bersaudara yang semuanya kebetulan perempuan. Kakakku yang tertua sudah hampir 10 tahun menikah dan telah dikaruniai 3 orang anak. Tiga tahun lalu adik pertamaku juga menikah dan kini telah dikaruniai seorang anak. Waktu itu, Papa dan Mama sebenarnya keberatan kalau aku harus dilangkah. Namun dengan alasan yang masih cukup relevan, aku bisa memberi pengertian bahwa tak masalah jika aku harus dilangkah. Tetapi sekali ini, aku tak bisa memberikan alasan apapun. Sebab, sesuai adat dan tradisi nenek moyang yang kami pegang, seorang perempuan memang tidak boleh dilangkah untuk kedua kalinya. Di samping itu, masih ada alasan lain yang benarbenar membuatku amat tersudut.

 

“Papa dan Mama amat bangga dengan keberhasilan yang telah kau raih. Tetapi kami akan lebih bangga lagi jika melihatmu telah menjadi Ibu dari anak-anakmu sendiri. Kau juga harus ingat, Papa dan Mamamu ini sudah tua. Ah, tidak lengkap rasanya kebahagiaan kami kalau belum melihatmu menikah dan memiliki anak.”

 

Dalil yang dipaparkan Papaku itu sungguh telah membuatku seperti seekor tikus kecil yang terjebak dalam perangkap kawat baja…

 

DEMI membahagiakan Papa dan Mama akhirnya kucoba membina hubungan dengan seorang pria yang sebut saja dengan nama Adam. Usianya terpaut sekitar 5 tahun lebih muda dariku.

 

Di mataku Adam adalah seorang pria yang sangat bersahaja. Backgraund pendidikannya juga relatif bagus. Dia seorang S1 di bidang komunikasi. Aku mengenalnya ketika sedang mengunjungi sebuah event pameran multimedia di kawasan Jakarta Pusat. Dia menjadi seorang petugas di stand pameran itu. Tidak menyangka bisa lebih dekat, kami berkenalan, aku sempat membeli di situ. Waktu itu ada produk dipamerkan di standnya. Persisnya produk growder internet model terbaru, paling canggih katanya. Tak dinyana, ternyata Adam sendiri yang mengantar baran pesananku itu ke apartemenku. Dari situlah awal perkenalan kami terbina semakin akrab. Harus kuakuai, Adam sesungguhnya tidaklah terlalu Istimewa. Maksudku, baik dari sisi ketampanan maupun potongan tubuhnya, maka ukurannya masih biasa biasa saja. Apa dia juga jauh dari klasifikasi sebagai cowok bonafid. Kedudukannya di perusaaan multimedia tempatnya bekerja hanyalah sebagai staf pemasaran, yang gajinya tentu saja tidak ada seujung kuku bila dibandingkan dengan gajiku, Tetapi harus pula kuakui bahwa dia memiliki salah satu sisi yang amat istimewa. Sorot matanya yang tajam itu dapat memberi kesejukan dan ketenangan tersendiri. Yang satu ini sungguh membuatku tak berdaya. Belum lagi suaranya yang bariton dengan tutur kata yang halus itu telah membuat anganku melayang jauh. Setelah dua bulan mengenalnya, barulah kusadari bahwa aku telah jatuh cinta padanya, ya, barangkali Adam adalah cinta pertamaku. Aku selalu merasa kehilangan bila dia jauh dari sisiku. Dan aku merasa amat damai bila dia berada di dekatku.

 

Kata orang, cinta bisa membutakan kita pada kenyataan di sekelilingnya. Cinta juga bisa menumpulkan logika dan akal sehat. Lebih dari itu, cinta juga bisa membuat seseorang yang mabuk karenanya berani mengorbankan apa saja yang dimilikinya.

 

Gambaran tentang cinta yang sepertinya amat sarkastik itu bukanlah hal yang mengada-ada. Setidaknya, akulah yang telah menjadi korbannya. Gara-gara jatuh cinta hebat kepada Adam, aku telah memberikan segala yang kumiliki padanya. Tidak hanya uang dan kemewahan, tetapi juga tubuhku. Adam sungguh telah memberiku sentuhan dan keindahan yang membuatku lupa dari jaring-jaring dosa yang menjeratku.

 

Benar, cinta telah menumpulkan akal sehatku. Di tengah-tengah perasaan yang memabukkan itu, muncul pula harap dan damba bahwa Adam-lah pria yang akan menjadi calon suamiku. Dengan asa ini, setidaknya aku bisa mewujudkan harapan kedua orang tuaku untuk segera menikah dan melahirkan anak-anak. Di samping itu aku juga tak perlu memikul dosa sebab telah membiarkan adik bungsuku terpenjara dalam penantian, menunggu kakaknya kawin lebih dulu sebelum dia memutuskan untuk menikah dengan pria idaman hatinya.

 

️Dengan seabrek pengalaman meraih sukses dan keberhasilan, aku memang begitu yakin akan mampu memiliki Adam seutuhnya. Tetap untuk menaklukkan Adam dan membawanya ke dalam ikatan perkawinan rupanya tidaklah semudah memenangkan tender Proyek dari instansi pemerintah yang oknum-oknum pejabatnya bisa dengan mudah disuap dengan gepokan uang. Meski bertumpuk-tumpuk ua telah kuhabiskan untuk memanjakan Adam namun dia selalu berdalih bila kuajak untuk segera menikah.

 

“Aku belum siap, Sayang! Kau tahu kan bagaimana kondisiku saat ini. Untuk hidup sendiri saja aku belum bisa mencukupinya, apalagi untuk menghidupi seorang isteri.”

 

Begitulah alasan Adam yang bagiku ama tidak berdasar. Sebab? “Aku kan bukan seperti isteri-isteri yang lain yang hanya mengharap pemberian dari jerih payah suaminya. Dengan kedudukan dan posisiku sekarang uang bukanlah masalah. Setelah menikah kita bisa membangun sebuah perusahaan. kelola bersama-sama perusahaan itu, dan yakin kita akan meraih sukses!”

 

Tetapi, apa jawaban Adam? “Yang pasti, aku belum siap menikah untuk saat ini. Usia masih terlalu muda. Aku ingin sepuas-puas menikmati masa mudaku sebelum akhirnya menjadi suami dan ayah dari anak-anakku.”

 

“Tetapi kau harus peduli dengan diriku!”

 

Setelah mengecup keningku, dia berkata dengan lembut namur amat meyakinkan, ”Pernikahan itu tidak perlu terlalu kita paksakan, sebab aku tidak ingin menjadi suami yang menyakiti hati isterinya. Percayalah, waktu pada akhirnya akan menyatukan semua impian indah kita.”

 

Waktu! Ya, hanya kepada sang waktu kugantungkan harapanku. Namun, waktu yang akhirnya menjelma menjadi musuh amat menakutkan bagiku, sebab aku merasa selalu diburu olehnya. Dan sang waktu pula yang menjelmakan kenyataan pahit bahwa cinta tak selamanya berakhir indah. Tapi kadang-kadang bisa memenjarakan manusia dalam nestapa.

 

Ya, itu juga yang akhirnya menimpa ketika kutahu siapa Adam yang sesungguhnya. Dia adalah seorang petualang cinta. Dia memberi cinta kepada yang mengharap uang serta kemewahan.

 

Apa yang kutuduhkan itu bukan tanpa alasan. Malam itu kulihat sendiri ia tengah bercengkrama mesra dengan seorang gadis belia yang amat jelita, Mungkin dibandingkan dengan diriku, kecantikan dan keindahan tubuh gadis itu tak ubahnya langit dan bumi. Ah, betapa menyakitkan ketika kulihat Adam mencium mesra gadis itu, sama seperti yang dilakukani ketika dia tengah merayu diriku. Ia melihat kehadiranku. Seolah merasa bersalah, dia lalu meninggali hotel, dan seakan-akan menganggap tak pernah ada di tempat itu, dia berlalu dan menggandeng gadisnya entah kemana. Tinggallah aku yang tiba-tiba merasa terkucil di tengah keramaian. Tak terasa mataku basah karena tangis. Bermodalkan peristiwa yang amat menusuk perasaanku itu, diam-diam kupersiapkan sejumlah kata untuk menyudutkan Adam. Bahkan aku bersumpah aku meninju mulutnya nanti jika dia coba mengelak dari tuduh. Namun apa yang kemudian terjadi?

 

Malam itu dia datang dengan seikat mawar merah di tangannya. Begitu pintu dibuka dia langsung menyambutku, senyum manis dan tatapan matanya yang setajam elang namun memberi keteduhan. Jangankan sebuah tinju, sepatah katapun tak sanggup kuucapkan. Aku buru-buru memeluknya dan menangis, mirip anak yang takut ditinggal pergi ibunya.

 

“Jangan siksa aku, Adam! Kumohon tinggalkan aku!” Rengekku dengan air mata bercucuran.

 

Dia lalu membelaiku, mencium, mencumbuku, bahkan kemudian aku dalam petualangan birahi. Ibarat kuda, maka Adam adalah joki yang mampu mengendalikanku hingga aku tak mampu lagi membahas tentang kejadian si Adam dengan wanita muda cantik tadi. Aku seperti melupakan persoalan yang amat menyakitkan ini.

 

Herannya, ketika pada pagi harinya Adam telah pergi dari sisiku, maka seketika itu juga aku kembali teringat pada peristiwa yang amat menyakitkan tersebut. Benakku dipenuhi dengan bayangan kemesraan antara Adam dan gadis berambut panjang itu. Mendadak aku merasa menjadi seorang yang amat bodoh. Mengapa aku tidak mempersoalkan hal ini di hadapan Adam? Alih-alih mempersoalkannya, malahan aku berasyik masyuk dengannya dalam kemesraan yang amat terlarang.

 

Demi Tuhan aku tak tahu dengan apa yang telah terjadi atas diriku. Yang pasti aku selalu saja berubah nrimo bila berdekatan dengan Adam. Dia sepertinya mempunyai suatu kekuatan untuk mempermainkan perasaanku dengan sesuka hatinya. Entah di mana kekuatan itu tersembunyi. Sungguh suatu misteri.

 

Sudah hampir setahun lamanya aku membina hubungan dengan Adam. Hampir dua pertiga masa hubungan itu aku merasa telah menjadi seorang perempuan yang amat bodoh. Bagaimana tidak! Sudah lebih tiga kali aku memergoki Adam sedang berkencan dengan perempuan lain. Mereka adalah gadis-gadis belia yang baik usia, kecantikan, maupun potongan tubuhnya jauh lebih sempurna dibandingkan diriku. Mereka jelas lebih menggairahkan hasrat lelaki normal dan petualang cinta seperti Adam. Kalau dipikir-pikir aku ini pasti tidak ada apaapanya bila dibandingkan dengan mereka. Tetapi mengapa aku tetap tak tahu diri sebab terus mendambakan Adam bersungguh-sungguh akan menjadi milikku seutuhnya. Ya, menjadi suamiku.

 

“Mereka itu bukan apa-apaku. Hanya sekedar teman untuk menghibur diriku. Tak lebih dari itu. Aku sama sekali tak mencintai mereka, sebab cintaku yang sesungguhnya hanyalah kepadamu!”

 

Itulah dalih Adam ketika aku memprotes sikapnya yang sudah keterlaluan itu. Dan aku sepertinya bisa dengan mudah percaya pada setiap alasan yang dikemukakannya. Apa yang tercetus dari mulutnya seakan-akan menjadi semacam obat bius yang bisa melenakanku. Mungkin karena itu aku hanya bisa pasrah padamu setiap keinginannya. Ya, pasrah bukan sebatas untuk memberikan uang dan kemewahan. Tapi juga pasrah untuk memberikan kehangatan tubuhku.

 

“Sampai kapan kau akan terus mengencani gadis-gadis itu?” Rengekku saat berada dalam pelukannya.

 

Lalu, seakan tanpa menaruh beban dia menjawab seenaknya. “Sampai aku puas dengan petualanganku, sayang. Setelah itu aku akan menjadi milikmu yang sesungguhnya!”

 

Batinku memang teriris mendengar kata-kata ini, sebab sepertinya Adam tak pernah berharap bisa puas denganku. Dua sudah tentu lebih puas dengan tubuh-tubuh langsing dan singset itu, ketimbang dengan si gembrot seperti diriku.

 

Ah, betapa menyakitkan membayangkan hal ini. Tetapi, lagi-lagi aku tak bisa memprotesnya. Entah mengapa? Mungkinkah semata-mata karena aku amat takut kehilangan dia setelah begitu banyak berkorban untuknya? Atau mungkin ada hal lain yang telah menjungkirbalikkan kesadaran normalku?

 

Taruhlah aku takut kehilangan dia kerena aku telah banyak berkorban untuk Adam, baik pengorbanan berupa uang, pakaian atau mobil, bahkan juga tubuhku. Tapi, apa peduliku dengan semua itu. Bukankah uang dan materi bukan masalah bagiku? Untuk apa pula aku harus mempersoalkan tubuhku, sebab aku toh bukan penganut paham kesucian tubuh? Dan yang lebih penting lagi, aku bukan tipe orang yang takut dan mudah terobsesi oleh dosa-dosa.

 

Dengan sikapku yang mungkin salah kaprah itu, maka jelas menjadi tidak tepat Jika ketakutanku akan kehilangan Adam adalah karena alasan pengorbanan dengan segala tetek-bengeknya itu. Barangkali jauh lebih tepat jika aku menyimpulkan bahwa otakku telah dipengaruhi suatu kekuatan yang telah menjungkir-balikkan kesadaran normalku, sehingga Adam begitu mudahnya mempermainkan perasaanku.

 

Bayangkan saja, suatu ketika aku memiliki keberanian untuk melabrak Adam saat dia tengah asyik berkencan dengan gadisnya. Waktu itu dengan langkah cepat kudatangi meja Adam. Aku siap mendampratnya dengan sederetan caci maki.

 

Masih kuingat, waktu itu hanya tinggal dua langkah lagi aku tiba persis di hadapan meja Adam dan gadisnya. Begitu melihat kedatanganku, Adam langsung berdiri. Dia menatapku dengan tajam. Anehnya, seketika itu pula langkahku terhenti bersamaan dengan bertemunya tatapan mataku dengan tatapan matanya yang setajam elang itu. Yang tak kalah aneh, kepalaku mendadak pusing dan pandanganku jadi berkunang-kunang. Setelah itu kurasakan keadaan berubah sangat gelap.

 

Rupanya, aku telah tak sadarkan diri. Saat siuman, kudapatkan diriku di sebuah ruangan kecil ber-AC, dan sedang dipijiti oleh seorang waiter restoran mewah di bilangan Senayan itu

 

“Ibu barusan pingsan. Mungkin karena kecapekan!” Jelas gadis hitam manis itu tanpa kuminta. Mungkin, karena dia melihat mimikku yang kebingungan.

 

Besok malamnya setelah kejadian itu, Adam kembali datang ke apartemenku. Dan seperti hari-hari sebelumnya, aku sama sekali tidak memiliki keberanian untuk mendampratnya, apalagi mengusirnya pergi dari hadapanku. Persis seperti kejadian sebelumnya, malam itu aku malah kembali larut dalam petualangan birahi bersamanya.

 

Ah, apa yang kualami ini sungguh merupakan kegilaan yang sulit termaafkan. Benarkah aku telah dibutakan oleh sebuah Cinta yang buta? Atau, ada hal lain yang telah membutakan nuraniku…?

 

Demi mencari jawaban atas semua teka-teki ini, maka sengaja kubeberkan catatan hitam hidupku kepada penulis. Sejujurnya, aku telah bosan merajut hari-hari yang amat menyiksa dan melelahkan ini. Aku ingin menutup lembaran hitam. Aku ingin kembali menjalani kehidupan secara normal. Dan yang paling penting, aku ingin kembali kepada Tuhan, bertobat, sebab aku sadar betapa selama ini aku telah terperosok jauh ke dalam lembah kemaksiatan, sehingga kini dosaku mungkin telah setinggi gunung dan sedalam samudera.

 

Tetapi, aku tak berdaya untuk melawan Adam. Sekuat apapun usaha yang kulakukan untuk menjauh darinya, maka sekuat itu pula muncul keinginanku untuk selalu bersamanya. Dia bagai telah menjeratku dengan benangbenang gaib yang tak pernah bisa kulihat, namun amat kurasakan betapa kuat jeratannya.

 

Jujur harus kuakui, sesungguhnya aku amat mencintai Adam. Tetapi harus jujur pula kuakui kalau aku amat takut untuk mengharapkan ketulusan cinta Adam. Kemesraan dan kasih sayang Adam yang diberikan padaku, mungkin hanya sebatas kepura-puraan saja dengan motif ingin terus mengeruk keuntungan dariku.

 

Sekali lagi, cinta memang bisa menjungkirbalikkan akal sehat. Karena itu, apakah akalku tidak sehat lagi jika masih mendambakan Adam menjadi pria yang akan mendampingi hidupku? Mungkinkah dia memang bukan jodohku? Jika dia mungkin menjadi jodohku, adakah jalan yang harus kutempuh untuk bisa mendapatkan cinta Adam yang seutuhnya…?

 

Semoga curahan hati yang penuh dengan ketulusan ini dapat menjadi cerminan berharga bagi kaum perempuan lain yang bernasib sama seperti diriku. Dan, semoga pula pengasuh/penulis website ini dapat memberikan jalan keluar terbaik agar aku mampu melewati jalan terjal ini…

 

Disajikan berdasarkan kesaksian Sdri. DN di Jakarta. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: bomoh.online
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Panggonan Wingit: MISTERI BUL BUTUH KEDIRI

KyaiPamungkas

Konsultasi Kyai Pamungkas: SUDAH AKAD NIKAH TAPI BELUM RESEPSI, APA SUAMI SUDAH BISA SENTUH ISTRI?

KyaiPamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: DITEROR ARWAH KORBAN PEMBUNUHAN

adminbomoh
error: Content is protected !!