Mikir Bareng Kyai Pamungkas:
MITOS DI ZAMAN KEKINIAN
Banyak sekali contoh yang bisa dikemukakan, seperti misalnya: Jangan sekali-kali mengambil ikan di telaga Itu, sebab ‘penunggu’ telaga akan marah dan bisa membuat sakit siapa saja yang nekat mencoba mengambilnya.
Ada juga contoh-contoh Iain: Jangan memanjat pohon keramat tua atau mengam bil kayunya, nanti bisa kesurupan. Atau: Jangan duduk di atas lumpang, nanti anusnya bisa buntu. Kalau memotong kuku, potongannya harus ditanam agar nanti jadi uang. Desa ini harus mengadakan sedekah bumi kalau tidak, maka ‘danyangnya’ yang mbahurekso sendang akan murka, dll.
Kalau dipilih-pilih, tahayul bisa demikian berjenjang dan berjenis. Ada yang masuk dalam kawasan hal-hal yang berbau klenik atau magis murni. Ada yang sekadar merupakan cara untuk menakut-nakuti masyarakat atau untuk menjelaskan sesuatu hal yang karena terbatasnya kesanggupan penalaran dan direkayasa sedemikian rupa, sehingga pihak-pihak tertentu bisa mengambil keuntungan-keuntungan tertentu di dalamnya. Jadi secara esensial tahayul itu memang ada, hanya saja secara substansial dia bisa berbeda-beda baju dan kemasan tergantung konteksnya.
Contoh-contoh di atas termasuk cara masyarakat yang bersangkutan dalam mengambil jarak, obyektifikasi terhadap realitas, yang sebenarnya masih dalam rasional, namun yang disayangkan masyarakat terlalu pragmatis lintas dan pintas. Mengenyampingkan keharusan-keharusan edukatif.
Jika direnungkan lebih jauh, jangan mengambil ikan di telaga, nanti sakit. sebenarnya lebih merupakan cara masyarakat menjaga kelestarian lingkungan. Dengan demikian ikan dan habitatnya tidak punah.
Jangan memanjat pohon itu nanti kesambet juga dapat diterangkan dengan cara di atas.
Jangan duduk di atas lumpang, lebih merupakan upaya orang-orang tua untuk menjaga kebersihan alat penumbuk padi. Kita tahu larangan itu lebih ditujukan kepada anak-anak kecil dan kita tahu anak-anak kecil selalu kotor celananya karena cara dan medianya bermain-main. Demikian seterusnya tahayuI-tahayul lain semacam itu dijelaskan.
Setidaknya ada dua hal menarik dari fenomena di atas: Pertama, mengapa masyarakat tradisional, tidak menutup kemungkinan juga masyarakat post-tradisional cenderung menggunakan “bahasa” tahayul untuk mengatur dan mengontrol tindakan dan perilaku anggota masyarakat? Sudah tentu jawabannya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Kedua adalah kenyataan bahwa orang-orang Iebih takut melanggar larangan yang bahasa larangannya diungkapan dengan bahasa tahayul dari pada dengan bahasa sebenarnya. Orang lebih merasa bergidik terhadap ‘nanti penunggunya marah dan kau akan celaka’. Daripada alasan lingkungan dan populasi flora dan faunanya. Kedua hal menarik di atas ada satu garis hubungan timbal balik yang khusus. Ada korelasi erat antara satu dengan yang lainnya
Untuk memperjelas asumsi tersebut bisa kita perhatikan satu hal berikut isinya, misalnya sama-sama tidak menginginkan siapa saja kencing di satu tempat. Akan segera terlihat tanpa kita pungkiri bahwa cara tahayul Iebih ‘mempan’ dari pada cara ilmiah.
Taruh saja yang satu memasang pengumuman besar-besar “dilarang kencing di sini” yang lain tanpa memasang apa-apa namun di dekat situ ditaruh dupa kemenyan yang dibakar dalam tungku kecil yang sering digunakan para dukun. Dupa tadi ditempatkan di tempat yang mudah kelihatan. Dapat ditebak orang tidak akan buang hajat di tempat yang ada dupanya. Sebaliknya orang tidak lebih menaruh perhatian pada tempat lain yang dipasang papan pengumuman larangan tersebut.
Dalam beberapa hal, tahayul erat kaitannya dengan tingkat pendidikan masyarakat yang bersangkutan. Semakin rendah tingkat pendidikannya akan semakin mudah dijumpai tahayuI-tahayul seperti di atas. Di sini pendidikan yang memberikan corak pemikiran formal, menempatkan dirinya sebagai bertentangan secara diametral dengan alam pikiran tahayul. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah dia menjelaskan hal-hal yang sebelumnya tidak bisa diterangkan dengan alam penalaran sehat. Orang mungkin bisa menerangkan peristiwa gerhana sebagai peristiwa alamiah semata, bukan lagi peristiwa Buto memakan bulan atau matahari. Petir dan guntur tidak lagi diterangkan sebagai suara lecutan cambuk Bathara Kala, tetapi sudah diterangkan sebagai peristiwa loncatan muatan listrik antara awan yang berbeda potensial kelistrikannya.
Terlepas dari adanya kaitan pendidikan, tahayul dalam suatu masyarakat telah merupakan suatu instrumen sosial yang memiliki fungsi dan peran tertentu. Pembicaraan bukan pada masalah siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dalam fenomena tahayul di atas. Namun lebih pada kenyataan bahwa tahayul itu ada dalam masyarakat secara luas.
Menyadari bahwa ternyata tahayul tidak hanya tumbuh dan berkembang di masyarakat tradisional tetapi juga ada di masyarakat kini, yang nota bene modern, merupakan suatu indikasi bahwa tahayul tidak selalu berkaitan dengan pendidikan.
Dalam beberapa hal yang lain tahayul memang tidak ada kaitannya dengan tingkat pendidikan suatu masyarakat. Kalau toh ada perbedaannya dengan tahayul tradisional itu lebih terletak pada kemasannya. Dapat dikatakan bahwa tahayul ibarat makhluk kontroversial yang merupakan realitas universal dalam pengertian di mana-mana. Di balik semua itu, bagaimanapun juga bentuk benda tahayul, dia tetap tidak pernah bersahabat dengan alam pikiran sehat, alam penalaran jernih atau kebenaran-kebenaran empiris lainnya. Itulah sebabnya selalu dimusuhi agama karena sifatnya yang bertentangan dengan rasionalitas agama secara berlawanan arah.
Bukan untuk dipungkiri bahwa sebenarnya tahayul-tahayul modern juga ada. Bahkan wujud dan perilakunya bisa demikian labih maju/canggih. Bukan saja di sebagian masyarakat di era globalisasi ini masih terdapat sisa-sisa tahayul tradisional, dengan pola perilakunya yang juga tradisional, tetapi juga tahayul modern tersebut memang lahir di tengah-tengah modernitas. Tingkat pendidikan atau kepintaran seseorang tidak lagi bermanfaat untuk membedakan apakah itu tahayul atau bukan.
Tahayul jarang dimitoskan sedemikian rupa sehingga dipahami sebagai bagian dari kebenaran yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam kondisi tertentu tahayul erat kaitannya dengan irama politik dalam suatu masyarakat/bangsa. Dalam kondisi politik tidak stabil, tahayul cenderung merebak hadir di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan. Dalam suatu masyarakat yang represif, tidak ada kepastian hukum, terjadinya perlakuan semena-mena oleh pihak tertentu, Jauh dari rasa aman dan tenteram menjadikan banyak anggota masyarakat tertentu yang tidak percaya apa yang ada disekitarnya.
Krisis keagamaan dan kekeringan spiritual dapat demikian potensial menjadi lumbung timbulnya tahayul-tahayul jenis baru. lni jalan pintas yang buntu tapi yang sering terjadi. Krisis kepercayaan terhadap agama sejak tahun 1960-an yang terjadi di negara yang konon pendidikannya bagus. Amerika Serikat adalah contoh yang representatif. Tahayul modern ini justru lebih menakutkan karena kesanggupannya mengadakan atraksi bunuh diri massal. Sebagai contoh, Jim Jones pada 18 November 1978 mengajak pengikutnya mengadakan demo maut menenggak racun sianida. #KyaiPamungkas
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: bomoh.online
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)