Cerita Featured Kisah Kyai Pamungkas Uncategorised Uncategorized

Kisah Kyai Pamungkas: HANCUR KARENA RITUAL SEKSUAL

Kisah Kyai Pamungkas: HANCUR KARENA RITUAL SEKSUAL

RASA TAKUT dan kekhawatiran yang berlebihan akan selalu mendatangkan malapetaka. Dari kesalahan sikap dan persepsi dalam menilai keadaan inilah catatan Hitam hidupku bermula…

 

Aku memang begitu takut kehilangan suami yang sangat kucintai, ditambah lagi aku juga begitu khawatir akan menderita kekurangan materi dalam hidup ini. Dua kombinasi yang sangat tidak beralasan inilah yang pada akhirnya menjerumuskanku pada sebentuk tindakan yang sangat dimurkai Tuhan.

 

Sebagai seorang isteri dengan 2 orang anak yang masih kecil, ketika itu aku mungkin memang terlalu naif. Ketika mendapatkan kenyataan karir Mas Guntara, suamiku, terus menanjak dan semakin baik, aku memang merasa sangat bahagia dan bangga padanya. Namun, seiring dengan itu rasa takut akan kehilangan sang suami pun semakin menjadi-jadi.

 

Aku sadar sepenuhnya kalau Mas Guntara masih patut dikatakan sebagai pria yang gagah dan tampan. Dengan jabatan sebagai seorang kepala personalia dan bermobil mentereng, walau itu iventaris perusahaan, tentulah tampilan suamiku berubah semakin sempurna di mata perempuan. Apalagi Mas Guntara termasuk tipe pria yang senang berpakaian rapih. Maka, makin tambah necis saja kelihatannya!

 

Rasanya, ketakutanku juga semakin menemukan tempat yang tepat ketika sadar sepenuhnya bahwa Mas Guntara bekerja di perusahaan garmen yang sudah barang tentu mayoritas pekerjanya adalah kaum perempuan. Karena aku juga pernah bekerja di perusahaan itu, maka aku tahu persis karyawatinya cantik-cantik, karena memang penampilan fisik menjadi salah satu pertimbangan pihak manajemen perusahaan dalam merekrut pekerjanya. Kulit mereka, walau agak pucat, rata-rata juga bersih karena memang jarang terkena sinar matahari sebab seharian bekerja di dalam ruangan.

 

Ah, apa jadinya kalau ada di antara ribuan karyawati, yang rata-rata juga berstatus masih gadis itu, ternyata ada yang mampu memikat hati Mas Guntara?

 

Kegelisahan pun selalu menghantuiku. Apalagi, aku juga merasa telah merampas Mas Guntara dari Vina, isterinya terdahulu, meski dari perkawinan pertamanya itu Mas Gun tidak memiliki seorang anak pun. Diam-diam, aku takut hukum karma akan menimpa hidupku.

 

Ada pameo di kalangan kaum wanita, kalau dia merampas suami orang, maka kelak dia harus rela kehilangan suaminya karena dirampas oleh wanita lain. Dalam banyak kasus, hal itu memang sering terjadi. Mungkinkah kenyataan yang sama juga akan menimpa diriku?

 

Ketakutanku semakin menjadi-jadi, Dalam benakku selalu terbayang bagaimana dulu aku berusaha menggoda Mas Guntara, agar dia jatuh hati padaku. Waktu itu, aku memang masih bekerja di perusahaan garmen tempat kini Mas Guntara menjabat sebagai kepala bagian personalia. Kami masih sama-sama karyawan biasa di bagian produksi. Kalau aku jatuh cinta padanya, maka sudah barang tentu bukan karena alasan materi, sebab waktu itu aku bisa mengukur berapa banyak uang di kantongnya.

 

Alasanku jatuh cinta adalah karena ketampanan dan keramahannya. Banyak yang bilang, Mas Guntara jauh lebih pantas kalau jadi foto model atau artis sinetron. Dengan tubuh atletis dan wajah yang tampan seperti aktor Fachri Albar, maka jelas penilaian tersebut tidak terlalu meleset.

 

Berkat usahaku yang tidak kenal menyerah, juga berkat kecantikan dan potongan tubuhku yang boleh dibilang cukup lumayan, akhirnya aku memang bisa mendapatkan Mas Guntara. Demi cintanya padaku, Mas Gun akhirnya rela menceraikan Vina, wanita yang sudah dua tahun dinikahinya.

 

“Aku memang sudah lama ingin menceraikan Vina, isteriku. Alasanku yang paling mendasar adalah karena dia tidak bisa Cocok dengan Ibuku,” dalih Mas Guntara suatu ketika.

 

Toh, kenyataannya Vina tidak terlalu mempersoalkan keputusan Mas Guntara yang ingin menceraikan dirinya. Berdasarkan sas-sus yang kudengar, rumah tangganya dengan Mas Guntara memang sudah lama dilanda percekcokan. Kemelut ini kabarnya dipicu oleh sikap Ny. Aini, Ibunda Mas Guntara, yang terlalu banyak ikut campur dalam urusan rumak tangga mereka.

 

“Mas Gun itu memang keterlaluan. Dia jauh lebih membela kepentingan Ibunya ketimbang isterinya sendiri. Bayangkan saja, uang gajinya saja dia berikan semua kepada Ibunya, sedangkan Vina tidak menerimanya walau sepeser pun. Kalau membutuhkan sesuatu, Vina disuruh Mas Gun meminta kepada Ibunya. Coba kau bayangkan, bagaimana mungkin Vina bisa kuat kalau perlu apa-apa harus merengekrengek ke Ibu mertuanya yang nyinyir itu.”

 

Cerita itu aku dapatkan dari Siska, teman kerjaku, yang rumahnya secara kebetulan memang bertetangga dengan rumah Mas Gun.

 

Rupanya, karena alasan tersebut maka Vina tidak melakukan perlawanan hukum apa pun saat Mas Gun bermaksud menceraikannya. Bahkan, kata Siska, Vina merasa sangat senang dengan pilihan Mas Guntara, sebab ini sama saja artinya dengan pembebasan dirinya dari keadaan yang selama Ini mengekang hidupnya

 

Sebagai gadis cantik yang sudah tahu benar dengan klak klik dunia percintaan, aku tentunya sudah hapal kalau sebenarnya ketidakharmonisan antara Vina dengan Ibunya adalah hal yang tidak terlalu prinsip untuk dijadikan alasan oleh Mas Guntara untuk menceraikan isterinya itu. Alasan yang sebenarnya adalah karena Mas Guntara sudah telanjur jatuh cinta berat padaku. Berulang kali dia berniat mempersuntingku, namun aku selalu saja kekeh tidak mau dimadu.

 

“Kalau Mas tidak mau menceraikan isteri Mas, maka jangan harap kita akan hidup bersama. Ini sudah jadi prinsipku yang tidak bisa ditawar tawar lagi, Mas!” Begitulah ancamanku ketika itu. Sungguh sebuah alasan yang sangat egoistis. Tapi, kenyataan seperti inilah yang kerap terjadi pada banyak wanita seperti diriku. Mereka ingin memonopoli seorang pria, tanpa secuilpun mempedulikan ada sekeping hati wanita lain yang luka karena tindakannya itu.

 

Tetapi laki-laki juga makhluk pembohong, terlebih ketika cinta jadi panglima. Aku kira itulah yang terjadi pada diri Mas Guntara sebenarnya. Dia sesungguhnya masih menyayangi Vina. Namun, rasa sayang itu kalah hebat jika dibandingkan dengan kecintaannya terhadap diriku. Siapa pun harus mengakui kalau aku memang jauh lebih muda, cantik dan seksi jika dibandingkan dengan Vina. Bukankah lelaki selalu terbius oleh ketiga hal ini?

 

Ringkas cerita, akhirnya jadilah kami menikah. Ini terjadi setelah 5 bulan Mas Guntara menceraikan Vina, isteri pertamanya. Lima bulan kemudian, Mas Gun diangkat menjadi kepala regu. Ketika aku hamil 4 bulan, Mas Gun memintaku berhenti bekerja. Aku tidak membantahnya, sebab bersamaan dengan itu Mas Gun memang menduduki jabatan barunya yang lebih menjanjikan. Ya, manajemen perusahaan mengangkatnya menjadi seorang supervisor. Dengan jabatan ini, tentulah gaji Mas Gun naik dua kali lipat dibandingkan dengan jabatan dia sebelumnya yang hanya sebagai kepala regu.

 

Kata orang-orang tua, jika memang pasangan suami isteri itu sejodoh baik dari karakter perwatakan maupun perhitungan nama, maka rejeki akan menaungi rumah tangga mereka. Kiranya, itulah yang terjadi antara aku dan Mas Guntara. Mungkin, kami memang pasangan yang pas. Buktinya, sejak kami menikah karir Mas Gun di perusahaan terus saja naik setahap demi setahap. Bahkan, setelah kelahiran anak pertama kami yang kini sudah berusia 7 tahun, Mas Gun telah diangkat menjadi kepala bagian personalia, jabatan yang tentu saja relatif lumayan dan cukup menjanjikan bagi seorang pekerja baik dari sisi karir maupun intensif.

 

Setelah kelahiran anak keduaku, kebahagiaan dan ketentraman rumah tangga kami mulai terusik. Ini karena kehadiran Ny. Aini, Ibu mertuaku yang notabene adalah Ibu dari suamiku, di tengah-tengah kehidupan kami.

 

Waktu itu Dina, adik Mas Guntara satusatunya, memang telah menikah dengan pemuda pilihannya. Karena itulah Mas Gun memutuskan memboyong Ibunya ke rumah kami, sebab waktu itu kami memang sudah tinggal di rumah baru yang cukup lumayan besar dan terletak di lingkungan perumahan bergengsi.

 

“Biarlah Ibu bantu-bantu mengurus cucunya di sini. Aku yakin kamu tidak keberatan kan, Win?”

 

Kujawab pertanyaan Mas Gun itu dengan senyum tulus.

 

Ya, memang tidak ada alasan bagiku untuk merasa keberatan untuk menolak kehadiran Ibunya Mas Gun di rumah kami. Di samping untuk menunjukkan bakti suamiku terhadap satu-satunya orang tua yang masih tersisa, toh benar juga kata Mas Gun, Ibunya itu bisa bantu-bantu mengurus si kecil. Apalagi waktu itu aku memang sering kerepotan mengurusi dua anakku.

 

Kalau pagi, aku harus mengantar si sulung ke sekolah, dan terpaksa meninggalkan si bungsu yang baru berumur 2 tahun dengan pembantu. Karuan, pekerjaan di dapur dan bersih-bersih rumah sering kali terbengkalai karena memang Tuti, pembantuku juga cukup kerepotan menghadapi si kecil yang sedang aktif-aktifnya itu.

 

Jadi, dengan kehadiran Ibu mertuaku, aku berharap keadaan tersebut bisa teratasi. Setidaknya Ibu mertaku bisa mengasuh cucunya selama aku mengantar si sulung ke sekolah, sedangkan Tuti bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya di dapur dan bersih-bersih rumah.

 

Rupanya, apa yang terjadi tidaklah semulus seperti yang kubayangkan. Belum lagi sebulan tinggal bersama kami, Ibu mertuaku sudah serba mengatur ini dan itu. Dia misalnya saja melarangku memberi makanan hasil masakan dari Tuti kepada Mas Guntara.

 

“Suami kok diberi makan buatan pembantu. Itu kurang baik. Sedapat mungkin kau harus bisa memasak buat Guntara, suamimu. Itu baru namanya isteri yang baik!” Kata Ibu mertuaku dengan nyinyir.

 

Ah, betapa menyakitkan kata-kata itu.

 

Jadi jelas selama ini dia sudah mengecapku sebagai isteri yang kurang baik. Apalagi dia juga pernah bilang begini, “Kalau keluar rumah jangan dandan terlalu cantik dan berlebihan. Seperti perempuan tidak terhormat saja. Ingat, karyawati suamimu itu banyak. Nanti, mereka bisa menilai isteri atasannya sebagai perempuan yang tidak-tidak!”

 

Perih rasanya hatiku mendengar kata-katanya itu. Tapi aku tidak bisa membalasnya, sebab di samping aku harus hormat padanya, aku juga selalu ingat pesan Mas Gun agar tidak perlu menaruh hati terhadap apa yang diucapkan oleh Ibunya.

 

“Namanya saja orang sudah tua. Omongannya pasti lebih banyak yang ngawur daripada yang benar. Jadi, jangan terlalu kau ambil hati omongan Ibu!” Begitu kata Mas Gun.

 

Untuk sementara aku memang berusaha bertahan. Namun, daya tahanku toh akhirnya runtuh juga saat kulihat Ny. Aini mulai coba meracuni otak anaknya, Reno Guntara, yang juga adalah suami dan ayah dari dua orang anakku.

 

“Ibu nggak suka melihatmu terlalu menurut kepada isterimu itu. Ibu lihat kamu terlalu lemah di matanya. Ingat, Gun! Kamu itu kan lakilaki, kepala rumah tangga. Kalau kamu terlalu lemah, nanti isterimu itu akan menginjakinjak kehormatanmu. Apalagi isterimu itu seperti perempuan gatal. Kalau keluar rumah, dandanannya pasti habis-habisan. Ibu nggak suka seperti itu!”

 

Ny. Aini mengatakan itu saat dia tengah ngobrol berduaan dengan Mas Guntara. Baik Ibu mertuaku ataupun suamiku sendiri tentu saja tak menyangka kalau aku mendengarkan obrolan mereka.

 

Suatu ketika, aku juga pernah mendengar Ibu mertuaku bicara begini, “Jangan kau berikan semua uang hasil jerih payahmu kepada isterimu, Gun. Kau sisihkanlah sebagian uangmu tanpa perlu isterimu tahu. Ingat, Gun! Rumah tangga itu ada saja cekcoknya. Bagaimana kalau nanti terjadi cekcok dan kalian terpaksa harus bercerai sedangkan kau tidak punya tabungan walau sepeserpun. Apakah kau mau mengemis kepada isterimu minta bagian uang atau harta?”

 

Banyak lagi kata-kata Ibu mertuaku yang sesungguhnya tak patut dia ketengahkan di hadapan anaknya. Aku jadi teringat kata-kata Siska, sahabatku di tempat kerja, yang dulu mengatakan bahwa Ny. Aini itu memang perempuan yang nyinyir dan suka usil. Pantas saja kalau Vina, isteri pertama Mas Gun, tidak tahan harus tinggal serumah dengannya, sampai-sampai dia merasa senang diceraikan oleh suaminya dengan tanpa memberikan reaksi atau perlawanan apapun.

 

Rupanya, karakter Ny. Aini itu memang sulit ditolerir oleh menantu manapun. Termasuk juga aku. Pantas juga kalau Mas Guntara lebih memilih memboyong Ibunya tinggal bersama kami, daripada membiarkannya tinggal serumah dengan Dina, sebab kelakuan sang Ibu potensial akan merusak rumah tangga adik suamiku itu.

 

Waktu terus berjalan. Kerapuhan rumah tanggaku juga mulai kurasakan setelah 4 bulan lamanya Ibu mertuaku tinggal bersamasama kami. Hal ini bisa kutandai dengan perubahan sikap Mas Guntara. Pria yang biasanya selalu terbuka ini lambat-laun mulai nampak menyembunyikan banyak rahasia di mataku. Contohnya dalam hal keuangan. Sering kutemukan Mas Gun menyembunyikan uang di dalam laci dashboard mobilnya. Padahal, selama hampir 9 tahun hidup berumah tangga denganku, tidak pernah sekalipun dia melakukan hal culas semacam ini.

 

Kalau soal uang, barangkali, aku masih bisa mentolerirnya. Tapi hal lain yang sungguh membuatku takut adalah perubahan sikap Mas Gun saat kami berduaan di atas ranjang. Aku merasa dia semakin dingin dan enggan menyentuh tubuhku. Padahal, selama ini aku merasakan gairah Mas Gun tidak pernah padam | walau kami sudah cukup lama membina rumah | tangga. Apakah mungkin Mas Gun mempunyai WIL di luaran sana?

 

Praduga tersebut melahirkan rasa was-was dan ketakutan dalam jiwaku. Terlebih ketika membayangkan puluhan, atau mungkin ratusan wajah cantik di pabrik garmen sana, yang setiap hari dilihat oleh suamiku. Tidak menutup kemungkinan ada seraut wajah cantik yang menarik hati Mas Gun, atau bahkan telah menguasainya. Dan pemilik wajah cantik itu bisa jadi juga akan merampas Mas Gun dari sisiku, sama halnya seperti ketika aku merampas laki-laki itu dari sisi Vina, isterinya ketika itu.

 

Ketakutan akan datangnya karma akhirnya menuntun langkahku untuk menemui Nimas, sahabatku semasa SMA dulu. Kepada Nimas, kuutarakan semua galau yang menjalar di bilik hatiku. Dia meresponnya dengan baik. Apalagi sudah hampir satu tahun kami tak pernah bersua. Paling-paling cuma ngobrol via telepon.

 

“Kau nggak usah takut, Win! Aku tahu banget bagaimana cara mengatasi persoalan yang kamu hadapi. Yang penting kamu memang punya niat dan tekad kuat untuk menyelesaikannya,” tutur Nimas yang berstatus sebagai isteri muda dari seorang pedagang ritel pakaian jadi yang sangat kaya.

 

“Yang kau maksud niat dan tekad kuat itu seperti apa sih?” Tanyaku.

 

Nimas menarik nafas berat. Katanya kemudian, “Begini, Win! Untuk menyelesaikan persoalan yang kauh hadapi itu hanya ada satu jalan, yakni dengan meminta bantuan orang pintar alias dukun. Asal kau tahu saja, aku tidak akan punya rumah besar dan perabotan-perabotan mewah seperti ini kalau tidak nekad menempuh cara itu. Kau tahu sendiri kan, lelaki itu sebenarnya pelit. Mereka baru mau royal kalau sedang ada maunya saja. Giliran bosan sama kita, mereka pasti berbuat semaunya. Nah, sebagai isteri muda, aku sadar benar dengan kemungkinan itu. Makanya, aku menempuh cara-cara di luar logika itu. Hasilnya kamu lihat sendiri kan? Mas Tommy tidak pernah mau meninggalkanku. Dia selalu merengek-rengek padaku. Kalau sudah begitu aku kan tinggal atur siasat. Aku bisa minta apa saja padanya, dan aku yakin dia pasti akan memenuhi semua permintaanku. Asal kau tahu, hal itu terjadi bukan semata-mata karena Mas Tommy mabuk kepayang dengan layanan ranjang yang kuberikan. Tidak, Win! Itu terjadi karena aku sudah mengobati Mas Tommy dengan magis atau ilmu-ilmu gaib!”

 

Batinku tergetar mendengar pemaparan Nimas yang panjang lebar itu. Barangkali, kalau saja bukan dengan aku sahabat karibnya, Nimas tidak akan pernah membuka rahasia tersebut. Dengan begitu, bisa kusimpulkan kalau dia memang sungguh-sungguh ingin membantuku menyelesaikan persoalan yang tengah kuhadapi.

 

“Kalau begitu, kapan kau akan mengantarku ke rumah orang pintar yang telah menolongmu itu?” Tanyaku setelah menyimpulkan ketulusan sikap Nimas.

 

“Terserah kau saja, aku sih siap kapan pun kau mau!” Ujar Nimas. Dengan setengah bercanda dia menambahkan, “Menurutku lebih cepat lebih baik. Sebelum Guntara, suamimu yang tampan itu digaet perempuan lain. Bisa bunuh diri kau nanti!”

 

Meskipun Nimas mengucapkan kalimat terakhirnya dalam nada setengah bercanda, namun aku harus meresponsnya dengan serius. Aku memang tidak boleh membiarkan Mas Guntara digaet atau malah jatuh cinta kepada perempuan lain. Lebih dari itu, aku juga tidak ingin melihat suamiku itu semakin berada di bawah bayang-bayang Ibunya. Walau bagaimanapun, aku merasa jauh lebih berhak jika dibandingkan dengan perempuan yang telah berusia senja itu. Bukankah Mas Guntara adalah suamiku, sekaligus ayah dari kedua orang anakku?

 

Setelah menentukan hari, aku dan Nimas akhirnya berangkat ke rumah orang pintar dimaksud. Sebut saja namanya Mbah Murustunjung. Di hadapan kakek berusia 60-an tahun ini kuceritakan semua persoalan yang kuhadapi. Intinya, aku menginginkan agar Mas Guntara tunduk dan takluk padaku. Tak lupa, kuutarakan juga keinginanku berikutnya yakni agar Ibu mertuaku segera menyingkir dari kehidupan rumah tangga kami.

 

Setelah mendengar semua pemaparanku, Mbah Murustunjung mengaku sanggup memenuhi semua keinginanku. Syarat yang dimintanya juga tidak terlalu berat. Dia hanya meminta emas seberat 10 gram, yang katanya akan digunakan sebagai tumbal penebusan. Di samping itu dia juga minta uang cash yang katanya akan dibelikan berbagai macam sarana untuk memperlancar hajat yang aku inginkan.

 

Karena tekad yang kuat tentu saja aku tidak keberatan memberikan semua yang dimintanya. Apalagi kata Nimas, Mbah Murustunjung selalu memberikan jaminan setiap pekerjaannya pasti akan berhasil.

 

“Mbah akan buatkan dulu sarananya. Tiga hari lagi kau boleh datang kemari untuk mengambilnya!” Kata Mbah Murustunjung setelah menerima pemberian 10 gram emas dan uang dari tanganku.

 

Begitulah! Tiga hari kemudian, dengan kembali diantar Nimas, aku datang lagi ke rumah Mbah Murustunjung. Tanpa banyak kata, si Mbah memberikan sarana dimaksud, yang terdiri dari dua wadah. Benda yang ada di dalam kedua wadah mirip cupu kecil itu berupa bubuk berwarna hitam. Entah terbuat dari apa. Yang pasti, walau sama bentuk serta warnanya, namun yang satu wadah berbau harum seperti minyak kayu cendana, sedangkan yang satu wadah lagi berbau anyir seperti darah.

 

“Kau perhatikan baik-baik! Bubuk yang berbau cendana itu harus kau gunakan untuk mengasapi kemaluanmu. Kau bisa membakarnya dengan kemenyan atau setanggi, yang penting harus keluar asap. Ingat, kau harus bisa menggoda suamimu agar mau berhubungan intim denganmu. Dengan begitu, secepatnya dia akan berubah tunduk dan takluk padamu. Yang satu wadah lagi, bubuk yang berbau amis itu berfungsi untuk menyingkirkan Ibu mertuamu yang nyinyir itu. Campurkan pada minuman atau makanannya. Tidak perlu banyak-banyak menaburkannya. Yang penting harus kau lakukan terus menerus!”

 

Demikian pesan Mbah Murustunjung yang amat mudah aku pahami maksudnya. Dan pesan itu aku laksanakan dengan baik.

 

Besok sorenya, sebelum Mas Guntara datang dari kantor, kulakukan ritual mengasapi vagina itu di dalam kamarku. Malamnya, sengaja kugunakan gaun tidur transparan, sehingga aku nampak sangat sexy di mata Mas Guntara.

 

Usahaku ternyata tidak sia-sia. Mas Gun yang salama ini dingin bagai salju, malam itu begitu bergairah mencumbuku. Bahkan, dia mengaku sangat puas dengan pelayananku.

 

“Kamu minum jamu apa sih, Win? Kok rasanya lain dari biasanya?” Tanya Mas Gun seusai pendakian melelahkan namun penuh kenikmatan itu.

 

Lalu, seperti iklan jamu sari rapet aku pun merengek manja, “Ah, Mas bisa saja! Itu mungkin-perasaanmu saja karena selama ini kau jarang menyentuhku.”

 

Tapi, dari sorot matanya aku tahu persis kalau Mas Gun memang seperti telah mendapatkan sesuatu yang sangat baru.

 

Ya, sebentuk kesan yang telah melemparkan angannya ke surga asmara yang sangat indah. Dan, dalam hati aku mulai memuji kehebatan ilmu Mbah Murustunjung. Rupanya, bubuk beraroma cendana yang diberikannya itu memang memiliki daya gaib yang sangat luar biasa. Kehebatan ilmu Mbah Murustunjung juga kubuktikan lewat perubahan sikap Mas Gun. Kalau selama ini sikapnya selalu acuh tak acuh padaku dan selalu membela Ibunya, maka dengan drastis semuanya berubah setelah selama hampir 2 minggu kulakukan ritual mengasapi vagina, dan bersamaan dengan itu Mas Gun selalu saja menggauliku dengan gairah yang meledak-ledak seperti saat kami pengantin baru.

 

Perubahan sikap Mas Gun jelas kurasakan lewat perhatian dan kasih sayangnya padaku. Bahkan, kalau Ibunya berkata nyinyir dan bermaksud menyinggungku, maka Mas Gun cepat bertindak dengan memintanya berhenti berkata-kata. Kadang-kadang, dia malah harus melakukannya dengan suara yang agak tinggi, sehingga sering kali kulihat Ny. Aini tersinggung dibuatnya.

 

Aku memang merasa lega dengan perubahan positif sikapnya Mas Gun. Tapi di balik kelegaan itu, diam-diam aku juga merasa tertekan. Sebuah perasaan yang sebenarnya juga amat berasalan. Bayangkan saja! Sejak secara kontinyu kutebarkan bubuk berbau amis itu ke kopi kesukaan Ibu mertuaku, maka lambut laun kesehatannya semakin memburuk.

 

Ini ditandai dengan serangan demam yang selalu saja datang menjelang malam tiba. Puncaknya, Ibu mertuaku itu meregang nyawa persis tengah malam ketika hujan deras mengguyur bumi.

 

Kepergian Ny. Aini tentu saja mengundang tangis Mas Gun dan Dina, adiknya. Aku pun juga larut dalam kesedihan. Tapi diam-diam akulah yang paling menyesali kematiannya, Aku yakin ada sesuatu di balik bubuk berbau amis pemberian Mbah Murustunjung itu yang telah mempercepat kematian Ibu mertuaku yang sebenarnya termasuk perempuan salehah itu.

 

Rupanya, yang dimaksud “menyingkirkan” oleh Mbah Murustunjung adalah mematikan mertuaku. Ini sama sekali tidak aku kehendaki. Yang kumaksud “menyikirkan” adalah agar supaya Ibu mertuaku tidak betah tinggal bersama-sama kami, dan dia pindah ke tempat lain. Bukan dengan jalan membunuhnya!

 

Rahasia itu, tentu saja hanya aku sendiri yang tahu. Karena itulah aku harus mencari cara sendiri untuk mengubur rasa sesalku. Celakanya, sebelum aku mampu melakukannya, kenyataan lain yang tak kalah pahit kembali mendera batinku. Mas Guntara harus berhenti dari pekerjaannya karena perusahaan, tepatnya pabrik tempatnya bekerja terbakar habis dilalap si jago merah, Dan perusahaan itu tidak bisa bangkit kembali karena dililit kredit macet, ditambah lagi pemiliknya yang warga negara Korea melarikan diri pulang ke negaranya.

 

Ibarat pepatah “Sudah jatuh tertimpa tangga.” Begitulah kenyataan yang kualami. Anehnya lagi, sejak berhenti bekerja, Mas Gun hanya berdiam diri di rumah. Dia seperti seorang yang telah putus asa. Waktunya sehari-hari lebih banyak hanya digunakan untuk melamun. Sering kulihat sorot matanya kosong, seolah tak ada lagi kehidupan di sana.

 

Untuk memenuhi kebetuhan hidup seharihari dan untuk membiaya sekolah kedua anakku, kini aku terpaksa bekerja sebagai buruh harian di sebuah industri rumahan yang memproduksi kasur berbahan kapuk. Upahnya memang tidak sebarapa, tapi syukur Alhamdulillah bisa menolong kami sekeluarga.

 

Sementara itu, Mas Gun tidak pernah mau merespon pembicaraanku bila aku memintanya untuk mencari pekerjaan apa saja untuk sekadar membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Dia pasti akan pergi meninggalkanku, lalu melamun seperti biasanya…

 

Itulah kenyataan pahit yang kualami, Mungkinkah ini semua adalah azab Tuhan atas dosa-dosa yang telah kuperbuat? Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: bomoh.online
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Kyai Pamungkas: POHON PERTAPAAN PARA PEJABAT

adminbomoh

Kisah Kyai Pamungkas: LEVINA TERBAKAR DI LAUT ANGKER

KyaiPamungkas

Layanan Kyai Pamungkas: KHODAM AURA PEMIKAT

KyaiPamungkas
error: Content is protected !!