Cerita Featured Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: DERITA SEORANG WANITA MALAM

Kisah Kyai Pamungkas: DERITA SEORANG WANITA MALAM

 

SEBUAH kapal yang disandarkan selama seratus tahun masih mungkin berlayar lagi, tetapi cinta dan kematian tak akan pernah terulang lagi. Cinta berkalang pengkhianatan memang telah mati dalam sanubariku. Dan aku pasti tengah menyongsong kematian yang sesungguhnya, setelah sekian lama kuhadapi penderitaan yang amat berat ini.

 

Ya, inilah sepenggal catatan hitam hidupku. Sebuah pengalaman dari seorang perempuan hina dina, yang menjalani hidup dalam balutan noda dan dosa.

 

Sesungguhnya, aku terlahir dari sebuah lingkungan keluarga yang baik, taat beragama dan cukup terpandang. Dulu, di kampung halamanku di daerah Malang, Jawa Timur, aku dikenal sebagai kembang desa. Predikat ‘ ini kiranya memang pantas dilekatkan pada diriku. Jika dibandingkan dengan gadisgadis lain di desaku, kecantikanku memang relatif menonjol. Tidak hanya cantik, aku juga memiliki postur tubuh yang sangat proporsional. Dengan tinggi 168 Cm dan berbalut kulit kuning langsat, maka, jadilah aku gadis yang relatif sempurna.

 

Aku bahagia dan bersyukur karena Tuhan mengaruniakan keadaan fisikku yang sedemikian indah dipandang mata. Tetapi, kecantikan pula yang telah membuatku merana dan terbenam dalam lumpur dosa.

 

Semuanya berawal ketika aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Kala itu, aku menjalin hubungan khusus dengan salah seorang guruku yang sangat tampan. Persisnya guru bidang studi kesenian yang sebut saja dengan nama Mr.X.

 

Meski Mr.X adalah guruku, namun dia masih relatif muda. Dia amat perhatian dan menyayangiku. Apalagi aku juga termasuk murid yang cukup berprestasi di bidang mata pelajaran yang diajarkannya. Namun, aku tak menyangka kalau Mr.X ternyata jatuh cinta padaku. Dan, aku tak kuasa menolak cintanya ketika dia dengan setulus hati menyatakan hal itu kepadaku.

 

Cinta memang tak pernah peduli dengan kasta, usia, atau bahkan harta. Begitulah yang terjadi antara aku dengan Mr.X. Meski kami adalah guru dan murid, namun hubungan cinta kami berjalan dengan penuh kemesraan. Kami sering berkirim surat, atau sesekali bertemu untuk sekadar makan bersama. Ya, tak lebih dari itu. Namun semuanya serasa berjalan sedemikian indah.

 

Kian hari hubunganku dengan Mr.X yang terhitung masih sebagaj guru baru di sekolahku itu kian bersemi. Kendati demikian, sesuai kesepakatan antara kami berdua, hubungan tersebut sengaja kami tutupi rapat-rapat, sehingga tidak ada seorang pun dari temanku sesama murid, atau dewan guru lainnya yang mengetahui kemesraan di antara kami.

 

Sampai suatu ketika, aku dan beberapa orang siswa lainnya terpilih sebagai wakil sekolah untuk mengikuti perlombaan paduan suara yang diadakan oleh panitia Hari Jadi Kabupaten Malang. Waktu itu, guru yang menjadi pembimbing kami adalah Mr.X, sebab ini memang sesuai dengan bidang mata pelajarannya yakni Kesenian.

 

Karena jarak antara kota Kecamatan tempatku sekolah dan Kota Malang cukup jauk sedangkan perlombaan dimulai pagi hari, mak: pihak sekolah memutuskan semua anggota grup paduan suara diinapkan di sebuah losmen. Nah, dari momentum inilah peristiwa memalukan itu berawal.

 

Malam itu, semua anggota grup paduan suara yang terdiri dari 10 siswi dan 10 siswa menginap di losmen yang telah dipilih oleh pihak sekolah. Kalau tidak salah ingat, ada 5 kamar yang disewa. Masing-masing 2 kamar untuk perempuan, dan 2 kamar untuk laki-laki. Sedangkan satu kamar lagi dikhususkan untuk Mr.X, selaku guru pembimbing.

 

Hujan deras mengguyur Kota Malang di malam yang jadi saksi hubungan terlarang itu. Sekitar pukul 01 dinihari, amat kebetulan aku kepingin sekali pipis. Karena kamar mandi berada di luar kamar, maka aku pun terpaksa harus keluar, Anehnya, seperti telah diskenario sebelumnya, di saat yang sama Mr.X juga sepertinya keluar meninggalkan kamar untuk kepentingan yang sama seperti diriku.

 

Dadaku berdegup kencang saat berpapasan dengannya. Di tengah keheningan malam berbalut nyanyian syahdu sang hujan yang menghanyutkan, kami bersitatap untuk beberapa saat lamanya. Mr.X meraih jemari tanganku, lalu menarikku ke dalam kamarnya.

 

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku, Tubuhku gemetar, ketika tiba di dalam kamarnya Mr.X mendekapku dengan mesra. Dan aku tak kuasa ketika dia menyerang bibirku dengan kecupan-kecupannya yang penuh dengan gairah.

 

Saat itu memang tak ada kata-kata yang terucap dari mulut kami. Cinta di antara kami berdua tersalurkan lewat bahasa tubuh yang panas membara. Dan malam itu, Mr.X mengajakku ke puncak asmara tertinggi. Aku tak kuasa menolak ajakannya, sebab aku pun telah dimabuk oleh hasrat yang selama ini tertahankan.

 

“Mengapa ini harus kita lakukan? Bagaimana kalau aku hamil, Pak?” Tanyaku dalam tangis, beberapa saat setelah Mr.X mengoyak pagar ayuku.

 

Dia mendekapku sambil berbisik, “Aku akan mempertanggungjawabkannya, Sayang!”

 

Malam itu, Iblis tentu menari-nari seraya bersorak gembira sebab dia telah berhasil menjerumuskan sepasang cucu Adam dan Hawa ke dalam jurang kenistaan.

 

Kata orang bijak, kekhawatiran yang berlebihan justeru akan menjelma menjadi kenyataan yang sebenarnya. Setidaknya, itulah yang kemudian terjadi. Setelah tiga kali aku diintimi oleh Mr.X, maka apa yang kukhawatirkan itu menjelma menjadi kenyataan yang sebenarnya. Ya, aku hamil!

 

“Kau harus menggugurkan bayi dalam kandunganmu itu, sebelum orang-orang tahu kalau kau telah hamil, Maria!” Tandas Mr.X ketika kuadukan keadaanku yang sebenarnya bahwa aku sudah tidak mendapatkan menstruasi selama 3 bulan.

 

“Aku tidak mau! Itu sama saja aku membunuh anakku sendiri,” ujarku dengan air mata berderai.

 

Mr.X mengangkat wajahku dengan ujung jarinya. “Kau dengar, Maria! Bayi itu belum tentu bahagia bila terlahir dari rahimmu, sebab dia akan menyandang predikat sebagai anak haram!” Tandasnya lagi dengan suara bergetar.

 

“Tapi, bukankah Bapak berjanji akan bertanggung jawab? Ya, Bapak kan bisa menikahi saya!” Balasku.

 

Dia tidak menjawab. Dia malah melemparkan selembar foto ke hadapanku. Aku terkejut, sebab di dalam foto itu nampak Mr. X dengan seorang perempuan cantik dan dua orang anak kecil, yang keduanya laki-laki. Satu berumur sekitar 5 tahunan, dan yang satunya lagi baru sekitar 1 tahun.

 

Demi menyadari apa sesungguhnya obyek dan adegan dalam foto itu, tangisku pun mengembang semakin pilu. Tak kusangka Mr.X telah membohongiku. Guru yang tindak-tanduk dan tutur katanya lembut bagai Dewa itu ternyata seorang pembohong besar. Dulu dia mengatakan bahwa dia masih hidup sendiri. Tapi ternyata dia sudah beristeri dan punya dua orang anak.

 

“Maafkan aku, Maria! A… aku mustahil bisa menikahimu!” Cetusnya dengan sedikit tergagap. “Saat itu, aku benar-benar panik. Dunia rasanya berubah gelap gulita.”

 

“Lantas, bagaimana dengan bayi ini, Pak?” Tanyaku untuk menerima Yusuf.

 

Mungkin, kehadiran Yusuf di tengah-tengah kehidupanku juga yang ikut mendorongku untuk segera pergi merantau ke Jakarta. Di Jakarta, pada awalnya aku tinggal menumpang beberapa waktu lamanya di rumah mewah Suhaeti, teman sekampungku yang namanya telah berubah jadi Suzanna. Sebenarnya, Suzanna ini sebaya denganku, meski dia terlihat jauh lebih matang dibandingkan dengan diriku. Ya, mungkin karena Suzanna sejak lulus SMP sudah merantau ke Jakarta. Dia hanya sempat duduk dibangku kelas 1 SMA. Sewaktu kedua orang tuanya bercerai, Suzanna memilih berhenti sekolah dan pergi merantau ke Jakarta. Dia mengaku tidak kuat tinggal bersama Ibunya yang telah menikah dengan lelaki lain itu.

 

Hampir empat tahun lamanya tak pernah kudengar bagaimana kabar Suhaeti yang telah menyulap namanya jadi Suzanna itu. Ketika aku tengah kalut memikirkan Yusuf, tiba-tiba teman se-SMP-ku itu pulang kampung. Kaget juga aku | melihatnya sebab Suhaeti sudah jauh berubah. Bukan hanya namanya yang telah berubah jadi Suzanna, tapi gaya berpakaian dan seluruh penampilannya benar-benar sangat modis dan modern. Aku hampir-hampir tidak percaya kalau itu adalah Suhaeti, teman kecilku.

 

Kepada Suhaeti kuceritakan bagaimana keadaan diriku yang sesungguhnya. Ya, semuanya dan sedetil-detilnya, termasuk tentang keadaan diriku yang sudah tak suci lagi, juga tentang pengaborsian janinku.

 

“Aku ini sudah kotor, Eti! Makanya, aku ingin meninggalkan desa ini, memulai kehidupan yang baru,” kataku sambil menyusut air mata yang telah menganak sungai di atas wajahku.

 

“Aku mengerti perasaanmu, Maria!” Jawab Suhaeti sambil memelukku. “Kalau kau mau, pergilah ke Jakarta. Aku akan membantumu!” Tambahnya dengan tulus.

 

Tawaran Suhaeti sungguh bak obat pelipur lara. Dengan nekad akhirnya aku pergi ke Jakarta. Masih kuingat, hari itu Kamis 6 Juli 2000, kuinjakkan kakiku untuk pertama kalinya di kota metropolitan Jakarta. Sesuai dengan janjinya, kedatanganku disambut langsung oleh Suhaeti alias Suzanna di Stasiun Gambir. Setelah itu dia membawaku ke rumahnya yang besar dan mewah, sehingga aku sempat terkagumkagum dibuatnya.

 

“Rumah siapa ini, Et?” Tanyaku sambil mengitarkan pandangan ke seluruh ruangan tamu rumah itu.

 

“Ya, rumahku dong, Mar! Masak iya sih rumah Bapakku. Aku saja sudah tidak tahu lagi di mana dia sekarang. Sejak bercerai dengan Ibu, Bapakku hilang entah kemana, jawab Suzanna setengah berseloroh.

 

“Terus, dengan siapa kamu tinggal di sini?” Janyaku lagi.

 

“Cuma sama pembantu!” Jawabnya. Lalu, sambil tertawa kecil dia melanjutkan, “Ya, kadang-kadang suamiku ada juga sih. Ya, paling-paling seminggu atau dua minggu sekali.”

 

“Jadi, kamu sudah menikah rupanya?”

 

Suzanna malah tertawa renyah. “Ya, nikahnikahan sih,” cetusnya.

 

Heran juga aku mendengar jawaban sahabatku yang sepertinya sudah menjadi nyonya besar ini. Melihat keherananku, Suzanna baru menceritakan yang sesungguhnya. Ya, dia menyebut dirinya sebagai perempuan simpanan seorang pejabat sekaligus pengusaha kaya raya. Dia berkenalan dengan pejabat itu ketika masih berstatus sebagai perempuan panggilan, yang biasa didrop ke hotel-hotel berbintang untuk menemani pejabat atau cukong-cukong berkantong tebal.

 

“Entah bagaimana, si Oom begitu tergila-gila padaku. Katanya, aku ini perempuan spesial yang bisa membuatnya melayang ke luar angkasa. Lucu juga sih! Makanya, akhirnya dia menyekapku di rumah ini dengan mobil dan segala macam kemewahan yang ada,” cerita Suzanna lebih lanjut.

 

Batinku merinding mendengar pengakuannya. Aku hampir sulit percaya bahwa Suhaeti, sahabatku yang dulu pendiam itu ternyata telah menempuh jalan sesat dalam hidupnya. Peristiwa apa yang melatarbelakanginya sehingga dia nekad berbuat seperti ini?

 

Suhaeti sepertinya dapat membaca perasaanku. Dengan terisak dia menjelaskan kenyataan buruk yang telah menimpa dirinya, “Aku tahu, kau pasti menganggapku perempuan yang kotor. Tetapi sejak awal aku memang telah kotor, Maria! Kau tahu, betapa menyakitkan kenyataan itu, kau tahu mengapa dulu kuputuskan berhenti sekolah dan pergi ke Jakarta hanya dengan modal kenekadan?”

 

Aku diam dengan keharuan yang mulai menjalar dalam bilik hatiku. Lalu, dengan getir Suhaeti mengatakan hal yang sesungguhnya telah terjadi pada dirinya.

 

“Aku telah diperkosa oleh ayah tiriku, Maria! Berulang kali dia melakukannya. Aku mencoba melawannya, tapi dia selalu mengancam akan,membunuhku, bahkan juga Ibuku bila aku sampai membongkar kebusukan yang dilakukannya terhadap diriku. Karena tak kuat lagi, akhirnya kuputuskan untuk berhenti sekolah dan pergi ke Jakarta. Aku… aku…!”

 

Suhaeti tak dapat melanjutkan kata-katanya. Tangisnya mengembang bersama kesedihan yang sedemikian sempurna.

 

Aku pun larut dalam kesedihan itu. Seraya menangis, kami pun saling berpelukan. Sungguh tak kusangka kalau Suhaeti yang pandai mengaji itu ternyata mengalami nasib yang bahkan jauh lebih tragis bila dibandingkan dengan diriku.

 

Mungkin, banyak perempuan lain yang bernasib sama seperti diriku juga Suhaeti. Jadi korban nafsu kaum pria yang tidak bertanggung jawab. Tentu dengan berbagai latar belakang kisah yang menyungkupinya. Tetapi mungkin mereka tidak melanjutkan kenyataan buruk itu dengan pilihan yang justeru lebih membenamkan diri ke dalam lumpur dosa, seperti yang dilakukan oleh Suhaeti dan diriku.

 

“Perempuan seperti kita ini sepertinya terlalu agung untuk mengharapkan cinta dari seorang lelaki. Bukankah mereka yang telah menghancurkan kita? Jadi, untuk apa kita mengharapkan cinta dari mereka, atau malah kita yang bersusah payah mengharapkan cinta mereka? Ah, omong kosong. Lelaki itu yang sesungguhnya tak pernah memiliki cinta. Mereka hanya mengharapkan kehangatan tubuh kita, setelah itu cinta pun berlalu.”

 

Kata-kata Suhaeti itulah yang membakar semangatku untuk memulai kehidupanku sebagai wanita pengeruk uang dari kantong pria hidung belang. Setelah melihat kemantapan tekadku, Eti kemudian memperkenalkanku dengan Mama Chintya, induk semangnya dulu. Kata Eti, perempuan paruh baya ini amat baik sikapnya. Bahkan, Mama Chintya adalah orang pertama yang dulu membujuk Suhaeti agar mau menerima pinangan si Oom untuk menjadi perempuan simpanannya. Tentu saja dengan datatan Eti masih harus setor sedikit uang kepada sang induk semang, sama seperti ketika dia masih berstatus sebagai “ayam-ayam” piaraannya.

 

Memang, Mama Chintya menerimaku dengan baik. Dia bahkan amat senang karena mendapat “ayam” baru yang cantik seperti diriku. Tapi celakanya, “ayam-ayam” piaraan Mama Chintya yang lain justeru tidak senang melihat pendatang baru seperti aku, karena mereka mungkin cemburu dan merasa tersaingi. Ringkasnya, kehadiranku membuat mereka tidak nyaman, sebab aku memang bisa menyerobot langganan mereka.

 

Sejak aku hadir di rumah mewah Mama Chintya yang terletak di bilangan Jakarta Selatan itu, keadaan memang sungguh berubah. Kecantikan dan bodyku yang aduhai menjadi magnet tersendiri bagi para lelaki hidung belang yang datang ke rumah itu, | atau bagi para broker yang memburu “ayam-ayam” cantik untuk menjamu para pejabat atau rekanan bisnis. Mereka rata-rata selalu terpikat padaku. Karuan, para wanita panggilan yang telah lama menjadi piaraan Mama Chintya banyak yang merasa iri padaku.

 

Susah lihat orang senang, senang lihat orang susah. Memang, kebanyakan begitulah sifat manusia, terlebih kaum perempuan. Perangai seperti itu pula yang pada akhirnya membuat teman seprofesiku banyak yang ingin mencelakai diriku. Misalnya saja, pernah di dalam tasku ada seekor ular kobra. Untung saja ular itu tidak sempat mematukku dan menebarkan bisa ke dalam aliran darahku. Kalau tidak, pastilah aku telah mati. Tentu saja ini semua karena Tuhan masih berkenan melindungi nyawaku.

 

Pernah juga seseorang berusaha menabrakku dengan sebuah sedan. Untung saja aku cukup waspada. Gerakan tubuhku yang reflek, sebab terus terang saja aku adalah peraih ban hitam, telah amat membantu dalam menyelamatkan nyawaku.

 

Sekali waktu, aku juga pernah mendapat serangan terbuka dari Alicia, teman seprofesiku, yang berniat menusukku dengan sebuah belati. Sekali lagi, kemampuan karateku membuatku terhindar dari maut, bahkan aku berhasil meringkus Alicia yang paling merasa tersaingi oleh kehadiranku. Gara-gara peristiwa ini, Alicia kemudian diusir oleh Mama Chintya. Tetapi sebelum pergi, Alicia sempat mengancam akan membunuhku dengan caranya sendiri.

 

Jakarta memang kota yang keras dan penuh dengan persaingan. Setidaknya, itulah yang kurasakan setelah selama empat tahun lebih bekerja sebagai perempuan penghibur di rumah bordil Mama Chintya. Setelah kepergian Alicia, bukan berarti persaingan yang tidak sehat itu berhenti. Persaingan masih terus berlarigsung meski dengan cara yang amat terselubung.

 

Memasuki masa tahun kelima, setidaknya mulai kurasakan adanya sesuatu yang tidak beres dengan diriku. Contoh yang paling gampang adalah siklus menstruasiku yang mulai tidak teratur. Misalnya saja, dalam sebulan aku bisa mendapatkan mens dua kali banyaknya. Bahkan terkadang tiga kali, atau bahkan sebulan lamanya aku terus mendapatkan menstruasi. Dengan keadaan ini, karuan saja aku tak bisa melayani tamu-tamu yang ingin membookingku.

 

Belakangan, keanehan yang menimpa diriku bukan semata-mata siklus menstruasi yang ngawur itu. Kadang-kadang, dalam sebulan malahan aku tidak mendapatkan menstruasi sama sekali. Tapi anehnya, ketika aku harus melayani tamuku, maka yang kurasakan bukan kenikmatan, melainkan rasa sakit yang luar biasa. Saat tamuku berupaya memuaskan nafsu birahinya, yang kurasakan adalah tusukan-tusukan amat menyakitkan pada daerah intimku. Aku hampir tak tahan melayani mereka Namun demi profesionalitas dan memanjakan pelanggan, aku selalu bersandiwara seolah-olah aku menikmati sensasi itu.

 

Tak sebatas sampai di situ. Aku juga kerap merasakan ada benda seperti bola kasti yang sepertinya berjalan-jalan di dalam perutku. Kalau keanehan ini datang, maka rasa sakit yang tak tertahankan akan menderaku. Sepanjang malam aku tak bisa tidur. Tapi begitu kokok ayam jantan terdengar, benda aneh sebesar bola kasti yang bergerak-gerak di dalam perutku itu pun seperti hilang dengan sendirinya.

 

Masih ada keanehan lain yang juga kurasakan. Kali ini merongrong di daerah sekitar payudaraku. Ya, entah bagaimana, atau entah karena sebab apa, kedua belah payudaraku kadang-kadang mengeras dan terasa amat sakit. Jangankan (maaf) dicium, dijilat, atau dihisap oleh para tamu yang membookingku, bahkan tersentuh sedikit saja sakitnya bukan alang kepalang. Aku sering merintih-rintih karenanya. Tapi bukan rintih kenikmatan, melainkan rintih kesakitan. Namun, para lelaki hidung belang yang telah membayarku dengan harga mahal mana sudi mempedulikannya. Semakin aku merintih, mereka justeru semakin bergairah mencumbuku, sebab mereka mengira aku dibuat mabuk kepayang oleh permainannya.

 

Gangguan-gangguan aneh yang menyebabkan kesakitan luar biasa itu selalu datang silih berganti. Akibatnya, aku pun sudah tak lagi mampu bekerja secara optimal. Kalau pun harus menerima tamu, maka ini semata-mata karena terpaksa akibat kebutuhan keuangan yang mendesak. Ya, aku memang bukan Maria si gadis desa dulu yang bisa hidup dengan uang sangat minim sekalipun. Kini, aku, Maria, adalah perempuan metropolis dengan kebutuhan hidup yang amat tinggi. Karena itu, kalau aku sampai tidak bekerja, dapat dibayangkan bagaimana keadaannya.

 

Untuk mengetahui kondisi kesehatan tubuhku yang sebenarnya, terus terang saja, sudah berulang kali aku memeriksakan diri ke dokter ahli. Tapi, obat-obatan yang mereka berikan sama sekali tidak menunjukkan hasil yang berarti. Penyakit-penyakit aneh itu selalu saja datang, silih berganti.

 

Dalam keadaan putus asa, akhirnya keputuskan untuk menuliskan catatan hitam hidupku ini. Semoga, pengasuh rubrik Catatan Hitam majalah kesayangan ini bisa memberikan solusi terbaik buat diriku. Jujur saja, aku telah bosan dengan kehidupanku yang seperti ini. Andai Tuhan memberikan kesembuhan padaku, akan kubayar hal itu dengan taubatan nasuha. Ya, aku ingin kembali ke jalan yang terang, walau harus hidup tanpa cinta dan harta!

 

Kisah nyata, diceritakan langsung oleh Sdri. Maria (bukan nama sebenarnya) – Jakarta. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: bomoh.online
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Ngaji Psikologi Bersama Kyai Pamungkas: Lakukan Yoga

KyaiPamungkas

Sex Education with Kyai Pamungkas: ONANI DAN SINDROMA DOWN

KyaiPamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: Kesetiaan Khodam Keris

adminbomoh
error: Content is protected !!