Cerita Featured Kisah Kyai Pamungkas Uncategorised Uncategorized

Kisah Kyai Pamungkas: PESUGIHAN RAYAP

Kisah Kyai Pamungkas: PESUGIHAN RAYAP

“Pokoknya aku tetap tak setuju sampeyan tak mau lag jadi tukang batu, sampeyan kan bisa cari kerja lain….”

 

“Kerja apa? Bisaku hanya nukang.”

 

“Kalau mau berusaha, pasti sampeyan dapat. Pokoknya aku tak mau sampeyan cari pesugihan…!”

 

Itu adalah percakapan antara Suparto dan Murni, isterinya. Seperti biasa, Suparto mengatakan bahwa ia sudah tak sanggup bekerja sebagai tukang batu. Sebab selain berat, kerjanyapun tak menentu hingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sering kekurangan. Suparto ingin mendapatkan penghasilan yang besar tapi dengan cara yang ringan. Dan cara yang dimaksud Suparto adalah melakukan pesugihan.

 

Seperti biasa, Murni dengan tegas menolak keinginan suaminya itu. Alasannya, pesugihan bukan cara yang benar dalam mendapatkan kekayaan. Pesugihan hanya akan membuat sengsara. Pesugihan selalu minta tumbal. Dan ia serta anak-anaknya tak-mau dijadikan tumbal.

 

“Baik, baik! Kalau kamu tetap tak setuju, lebih baik aku pergi dari rumah ini. Terserah, percuma hidup bersama orang yang tidak bisa diajak bekerjasama!”

 

Murni terkejut, “maksud sampeyan?”

 

“Mur, aku ini sudah tua. Umurku hampir limapuluh. Kamu kan tahu, kerja jadi tukana batu itu berat sekali. Sekarana aku masih kuat. Tapi nanti, kalau aku sudah tua bagaimana? Untuk menghidupi Kalian dengan apa? Cari pekerjaan lain tidak mudah, Mur. Sudah-sudah, jangan membantah. Aku capek. Pokoknya setuju atau tidak! Kalau tidak, sekarang juga aku mau keluar dari rumah ini!”

 

Murni terkesima. Nampaknya suaminya tidak main-main. Ia mengerti kemana arah ucapan suaminya. Sekelebat terlintas di benaknya hidup tanpa seorang suami. Oh, Murni takut membayangkannya.

 

Akhirnya, dengan keterpaksaan Murni menyetujui keinginan suaminya. “Tapi sampeyan harus janji, jangan aku dan anak-anak dijadikan tumbal. Janji!”

 

Suparto tersenyum lebar. “Sudah berapa kali kubilang, kamu, Eny dan Herman tidak akan kujadikan tumbal.”

 

Murni tidak berkata-kata lagi. Suparto merasa lega. Meski niatnya baru akan dilaksanakan, namun persetujuan isterinya untuk mencari pesugihan sudah cukup membuat hatinya gembira. Selanjutnya, ia mulai bertanya kesana-kemari. Mencari tahu dimana tempat mencari pesugihan yang sesuai dengan keinginannya. Tentu saja ia hanya mau bertanya kepada orang-orang yang belum dikenalnya dan tinggal jauh dari tempat tinggalnya: Suparto ingin apa yang hen’dak dilakukan menjadi rahasia.

 

Begitulah, setelah lelah pergi kesana kemari, lewat salah seorang kakek, Suparto mendapat petunjuk tentang sebuah tempat mencari pesugihan yang hanya memerlukan tumbal nyawa dari yang bersangkutan.

 

“Namanya Pesugihan Rayap,” lanjut si kakek. Kemudian ia menjelaskan di mana tempat pesugihan itu berada dan apa yang harus Suparto lakukan di tempat itu.

 

Setelah mendapatkan penjelasan yang memuaskan, Suparto minta diri dan segera pulang untuk memberitahukan hal itu kepada Murni. Dan tiga hari kemudian, tepatnya pada hari Senin menjelang malam Selasa Kliwon, Suparto pergi ke tempat yang ditunjukkan si kakek, yang hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit naik angkot, lalu berjalan kaki sejauh 500 meter. Tempat yang dimaksud adalah sebuah pundung (gumuk) atau gundukan tanah. Terletak di bawah pohon beringin besar yang berada di tengah-tengah sebuah pemakaman umum. Sambil menunggu waktu, Suparto duduk-duduk di bawah pohon itu untuk melepas lelah.

 

Malam telah jatuh, Suparto mendekati pundung dan mulai membakar kemenyan. Setelah itu ia melakukan semadi. Tekadnya sudah bulat. Ia ingin memulai kehidupan baru.

 

Waktu merambat perlahan, Suparto terus bersemedi dengan khusuk. Lewat tengah malam, antara Sadar dan tidak, sesosok makhluk besar menyerupai rayap menghampirinya. Mata makhluk

 

Itu merah menyala. Selanjutnya terjadi dialog batin antara keduanya.

 

“Sudah kamu pikirkan niatmu ini, manusia?”

 

“Sudah!”

 

“Kamu siap menanggung resikonya?”

 

“Siap. Tapi jangan isteri dan anakku yang jadi korban.”

 

“Permohonanmu aku kabulkan. Tapi ingat, 40 hari menjelang kematianmu, aku akan datang kepadamu…”

 

Makhluk itu lalu menghilang. Kemudian Suparto membuka matanya. Ia menoleh ke kanan kiri. Hanya terdengar suara jangkrik dan katak saling bersahutan. Antara takut dan gembira segera ditinggalkannya tempat itu.

 

“Ah, mana ada pesugihan tidak minta tumbal?” komentar Murni, setelah Suparto menceritakan bahwa pesugihan yang akan dijalaninya nanti tidak memerlukan tumbal siapapun, termasuk dirinya sendiri.

 

“Sungguh, Mur, aku tidak bohong. Hanya saja, siluman itu akan datang menemuiku 40 hari menjelang kematianku.”

 

“Untuk apa?”

 

“Aku tidak tahu.”

 

Suparto tak ingin mengatakannya kepada Murni. Juga kepada kedua anaknya. Ia pikir pada saatnya nanti mereka akan tahu sendiri.

 

Hari demi hari, Suparto menunggu hasil lelakunya dengan harap-harap cemas. Sebulan telah lewat, tapi kehidupan lelaki pendek gemuk itu tetap belum ada perubahan. Ia merasa makhluk penunggu pundung telah membohonginya. Ia kesal, tapi tak ada yang bisa dilakukannya, selain tetap menunggu dan menunggu.

 

Siang itu Suparto sedang duduk menikmati secangkir kopi di ruang tengah ketika datang seorang kenalannya. Entah bagaimana, kenalannya itu minta dicarikan sebuah mobil kijang bekas. Ia heran, seingatnya ia tidak mengerti sama sekali tentang mobil tapi kenapa kenalannya itu memintanya demikian. Namun begitu Suparto melakukannya juga. Dua hari kemudian dari salah seorang yang kaya di desanya ia mendapatkan mobil itu. Dari hasil jual beli itu, Suparto mendapat untung sebesar tiga juta. Sebagian uang itu dipergunakan untuk membayar hutang-hutang.

 

Sebulan kemudian, Suparto berkenalan dengan seseorang. Orang itu minta dicarikan tanah seluas 1 hektar. Dan tanpa kesulitan, Suparto mendapatkan tanah yang dimaksud. Dari pembeli dan penjual, ia mendapatkan komisi sebesar 40 juta lebih. Sekitar sebulan berikutnya, seorang temannya bermaksud menjual rumahnya. Lewat Suparto, beberapa hari kemudian rumah itu terjual dengan harga jauh diatas perkiraan. Suparto mendapat komisi yang sangat besar.

 

Suparto menghitung hari antara dapat keuntungan yang satu dengan keuntungan yang lain. Ternyata semuanya berjarak 40 hari. Dan ia yakin semua itu atas bantuan siluman raya penghuni pundung.

 

Begitulah, setiap 40 hari Suparto mendapat rezeki yang tidak disangkasangka darimana datangnya. Maka hanya dalam waktu tidak lebih dari dua tahun, ia telah menjadi orang kaya raya dan terpandang. Namun meski hidupnya bergelimang harta, tapi hatinya tak pernah bisa tenang. Perjanjian gaib dengan siluman rayap yang bersemayam di pundang itu selalu mengusik pikirannya.

 

Suatu petang ketika sedang menonton televisi, Suparto merasakan tubuhnya lemah dan bagian perutnya sakit. Dari situ diketahui bahwa ia menderita penyakit yang membuat jantungnya serasa copot seketika. Leukimia! Dan karena penyakit itu, ia harus sering ke rumah sakit untuk mencucikan darahnya. Tapi penyakitnya bukannya membaik, justru malah sebaliknya.

 

Suatu tengah malam, Suparto bermimpi didatangi beribu-ribu rayap. Diantara rayap-rayap itu-ada seekor yang paling besar dan berkata. “Saatmu telah tiba. Aku menagih janji.”

 

Rayap-rayap itu lalu melesak masuk ke dalam tubuhnya lewat seluruh bagian tubuh. Suparto terbangun dengan keringat bercucuran dan mata melotot. Ia merasakan sakit yang luar biasa dari dalam tubuhnya. Tepatnya, di bagian tulang belulang.

 

“Tolong… ampun…!”

 

Suparto berteriak-teriak, tapi tak terdengar suara keluar dari mulutnya. Tubuhnya pun tak dapat bergerak, kaku bagai patung, sehingga Murni yang tidur di dekatnya tak terusik sedikitpun. Suparto benar-benar tersiksa. Dan siksaan itu baru berakhir ketika terdengar adzan subuh. Tengah malam esoknya, juga pada tengah-tengah malam berikutnya, kejadian serupa terulang kembali. Suparto sengaja tak menceritakannya kepada siapapun. Termasuk kepada isteri dan anaknya. Ia tak ingin mereka semakin sedih memikirkan kondisinya.

 

Dari hari ke hari kondisi tubuh Suparto sangat memprihatinkan. Semakin kurus dan lemah.

 

“Ingat, 40 hari menjelang kematianmu aku akan datang kepadamu!” ucapan itu terus terngiang di benaknya. Suparto merasa kematiannya sudah di ambang pintu. Dan setelah tengah malam yang ke 40, ketika terdengar adzan subuh, Suparto menghembuskan nafas terakhir, tanpa disaksikan oleh siapapun.

 

Isteri dan anak-anaknya terkejut. Terlebih sewaktu dua orang tetangga mengangkat jenazah lelaki itu, mereka sama terbelalak saat tubuh, kaki, tangan dan kepala Suparto tiba-tiba mengempes, seperti balon kehilangan udara. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: bomoh.online
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Ijazah Kyai Pamungkas: Ilmu Pengasih Lewat Makanan, Silahkan Diamalkan

adminbomoh

Kisah Kyai Pamungkas: Anton, Penghisap Darah dari Bangka

adminbomoh

Kisah Kyai Pamungkas: PESUGIHAN NYAWA KONTAN

KyaiPamungkas
error: Content is protected !!