Cerita Featured Kisah Kyai Pamungkas Uncategorised Uncategorized

Kisah Kyai Pamungkas: PENEMPATAN KERJA DI WILAYAH ANGKER

Kisah Kyai Pamungkas: PENEMPATAN KERJA DI WILAYAH ANGKER

Kawasan hutan angker membentang di Tugumulya, Kayuagung, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Ratusan ribu hektar hutan karet, merimbuni wilayah itu, yang selain dihuni oleh puluhan macan sumatera, tapi juga dihuni oleh ribuan kuntilanak, makhluk gaib yang sering berinteraksi dengan manusia. Terutama bagi orang-orang yang bermukim di situ, termasuk aku, wanita pekerja managemen perkebunan kelapa sawit, milik grup Bardis Corporation, suatu raksasa konglomerasi sawit joint venture antara Indonesia dan Malaysia. Walau aku bekerja di kebun kelapa sawit, tapi rumahku berada di dekat lahan hutan perkebunan karet rakyat.

 

Barangkali, karena aku dinilai berprestasi di kantor pusat Jakarta, maka aku dipindah tugas ke Tugumulya, Kayuagung, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Wilayah usaha perkebunan ini berjarak 200 kilometer dari ibu kota provinsi, yaitu dari kota empek-empek Palembang.

 

Desa Tugumulya, adalah sebuah daerah terpencil di Sumatera Selatan. Untuk mendatangi wilayah ini, aku harus mengendarai kendaraan darat melalui jalan trans Sumatera, Lintas Timur. Bagi seorang wanita seperti aku, tentu saja bermukim di daerah ini cukup berat untuk dijalani. Sebab selain desa yang sepi di tengah hutan belantara sawit dan karet, Tugumulya juga dikenal sebagai sebuah desa yang angker. Lokasi dusun ini berluas 200 ribu hektar dan penuh dengan binatang buas. Terutama macan sumatera, ular sanca, buaya dan lutung hitam.

 

Di beberapa lokasi belakang desa, terdapat ribuan hektar pula hutan liar, kayu-kayu tembesi dan sumber gas alam yang belum terekploitasi oleh negara. Warga Kayuagung yang aku kenal lama, Anita Limpang, 46 tahun, jauh hari sudah memperingatkan aku, bahwa daerah Tugumulya itu dikenal angker. Katanya, banyak makhluk gaib jenis kuntilanak dan hewan buas jenis macan Sumatera pemangsa manusia. Sudah puluhan orang tewas karena diserang harimau. Bahkan ada pula buaya predator yang juga menyerang manusia di Sungai Ogan Timur.

 

Dengan pertimbangan jabatan, maka keputusan berat itu tetap kuterima dan aku rela tinggal selama periode lima tahun ke tengah hutan Tugumulya. Suamiku, Bang Zainal Arifin dan tiga anakku, terpaksa merelakan aku pindah ke daerah ini. Pertimbangan Bang Zainal Arifin, walau dengan hati berat, mereka terpaksa merestui kepindahan itu demi masa depan karierku sebagai pejabat teras Bardis Grup di masa depan, yang akan menjadi lebih baik. Sebab aku diformat, jika berhasil di daerah ini, akan menjadi pucuk pimpinan perusahaan baru di Kalimantan Barat.

 

“Bunda nantikan bisa kembali tiap bulan satu kali ke rumah kita di Jakarta ini. Lain dari itu, kami juga bisa pula berempat, datang ke tempat Bunda di sana, maksudnya, kami yang mendatangi dan menengok Bunda di Sumatera Selatan,” desis Bang Zainal Arifin, dengan suara yang getir.

 

Bang Zainal dan anak-anakku, sebenarnya mau ikut hijrah, bedol desa bersamaku ke Tugumulya. Tapi karena di daerah ini Bang Zainal Arifin tidak mempunyai rencana pekerjaan, lain dari tu, anak-anak juga repot dengan urusan sekolah, maka niat hijrah itu dibatalkan.

 

Lain dari itu, pihak managemen tempat kerjanya, Yogama Real Estate, usaha bidang bisnis properti, mempertahankannya agar tetap bekerja di situ. Permintaannya untuk mundur tidak direstui, bahkan, agar tidak mundur, gaji Bang Zainal dinaikkan 100 persen. Hal itu dilakukan manajemen sebagai ikatan agar Suamiku tidak jadi mundur. Sedang hal sekolah anakku, Hendri, Reza dan Yunita, adalah hal yang juga tak mudah untuk dipindahkan.

 

Di Tugumulya, tidak ada sekolahan perguruan tinggi dan SMU. Kalau mereka pindah sekolah, merekapun terpaksa bersekolah di kota Palembang. Sementara jarak Tugumulya ke Palembang, sangatlah jauh, berjarak 200 kilometer lebih. sedangkan bila mereka kost di kota Palembang, jadi percuma juga, akan berada jauh dari rumah kami. Maka itu, dari pada pindah ke Palembang, mending mereka tetap bersekolah di Jakarta. Berpisah dengan ibunya sampai tugasku lima tahun selesai di Tugumulya.

 

Setelah mempertimbangkan jarak dan waktu, maka demi kebaikan, maka akhirnya aku pindah ke Tugumulya sendirian untuk tugas selama lima tahun. Aku berangkat pada hari Jumat Kliwon, 23 Januari 2001, pagi hari yang berselimut mendung. Setelah itu, turun hujan lebat membasahi Jakarta, mengiringi kepergianku menuju bandara Soekarno-Hatta, Kota Tangerang.

 

Dengan pesawat Garuda Indonesia, milik maskapai penerbangan BUMN, aku berpelukan dengan suami dan anakanak di terminal keberangkatan. Tiga anak tercintaku, suami tersayangku, mengantarkan aku dengan linangan airmata. Dan akupun, sebagai ibu, tak tahan melihat keadaan itu, hingga aku pun tidak malu-malu lagi menangis di ruang tunggu terminal keberangkatan itu. Rasanya, hari itu kami mau berpisah dalam waktu yang lama dan rasanya tidak akan bertemu lagi sampai kapanpun. Rasanya tubuhku Melayang-layang, mengambang terbang digelayuti rasa sedih, iba dan gundah Bulana. Ketiga anak dan suamiku, kuciumi Sepuasnya dan kupeluk mereka dengan Erat. Airmataku tumpah basah membanjiri pipiku. Bang Zainal Arifin yang selama ini kuat jarang menangis, hari itu kulihat matanya berlinang.

 

Jantungku bergetar hebat saat pesawat meninggalkan bandara beberapa saat Sebelum take off. Landasan pacu perlahan ditinggal burung raksasa itu dengan kecepatan rendah. Tubuhku lemas saat aku berusaha melongokkan mukaku ke jendela kecil pesawat. melepaskan pandangan ke terminal bandara. Dari jendela itu, aku melihat sosok Bang Zainal dan tiga anakku melambaikan tangan saat pesawa: berputar siap memacu kecepatan tinggi. Aku melihat mereka dengan jelas dan airmataku makin membanjir.

 

Entah kenapa, hari itu aku begitu sedih. Jantungku terasa mau terlepas dari tali induknya melihat mereka-mereka yang kucintai bersedih mengantarku pergi.

 

“Ya Allah, lindungi mereka dan pertemukan kami kembali di suatu saat. Tuhan, aku sangat mencintai mereka dan mereka sangat mencintaiku. Jangan pisahkan kami terlalu lama dan bahagiakan mereka sepeninggalku. Amin!” doaku, menyeruak dari kedalaman hatiku.

 

Pesawat melesat ke udara meninggalkan Jakarta menuju timur laut Teluk Jakarta. Pesawat superjet A 345 itu terbang dengan kecepatan 900 km-perjam di atas Selat Sunda, lalu terus menghambur ke kota Palembang.

 

Sesampainya di bandara Sultan Mahmud Badaruddin, Palembang, jam menunjuk angka 10.45 WIB. Udara di kota Palembang cukup cerah namun sedikit berkabut karena asap kebakaran hutan di Musi Banyu Asin. Dari kota empekempek ini, aku dijemput oleh Fauzi Haji Hasan dengan mobil sedan mercy bulidog melintasi jembatan Musi II menuju Gaeran, Inderalaya, Tanjungraja, Kayuagung lalu sampai di Tugumulya. Fauzi Haji Hasan adalah wakil kepala lapangan, yang berarti adalah wakilku yang sudah dipersiapkan oleh pusat untuk managemen daerah. Istri Fauzi Hasan, bidan Herni, juga ikut serta menjemput aku, berikut dua anak perempuan mereka yang masih balita.

 

Sesampainya di jembatan Sungai Ogan Timur, Tugumulya, jam di tangan menunjuk angka 2.15 siang. Walau terlambat sedikit, tapi aku meminta berhenti di mesjid kecil di dekat jembatan untuk melakukan sholat zuhur. Aku sudah mempersiapkan alat-alat sembahyang di tas travelingku dan kami pun sholat di mesjid kecil yang sunyi itu.

 

Usai sholat dan minum teh hangat dari termos keluarga Fauzi, kami segera berangkat menuju rumah dinasku. Syahdan, ternyata untuk dapat masuk ke rumah dinas, kami harus masuk ke hutan, keluar dari jalur ttanssumatera, jalan lintas timur, menjelajahi jalan tanah merah menuju hutan Meringgau, rumah dinasku yang disediakan di tengah hutan karet.

 

Setelah dua jam melewati jalan yang berliku-liku, berlobang dan tidak beraspal, sampailah kami ke rumah dinasku. Sebuah rumah bercat kuning, berpagar tinggi, berantena parabola, beriuar 300 meter dengan empat kamar tidur dan kolam renang kecil. Sungguh suatu rumah yang cukup nyaman, asri, setetis danartistik dipandang mata. Cuma sayang, rumah itu tidak bertetangga, di tengah belantara dan jauh dari keramaian. Sedangkan lampu peneranganpun, diambil dari genset, bukan listrik PLN. Sedangkan rumah keluarga Fauzi Haji Hasan, berjarang 4 kilometr dari rumah dinasku. Mereka berada di kampung sebelah, kampung Neglasari Kidul.

 

Yang lebih memprihatinkan, semua nomor perdana telpon seluler, tidak ada yang mendapatkan sinyal. Daerah itu dinyatakan sebagai daerah blankspot, daerah out of area semua sinyal hp, karena belum ada menara telkomsel atau indosat yang masuk ke situ. Bila mau menelpon, kami harus keluar mendekati kota Kayuagung, berjarak 60 kolometer dari situ, di mana di sana ada menara, trasmisi yang dapat menghubungkan kami dengan Jakarta.

 

Setelah berfikir beberapa saat, barulah aku sadar, bahwa aku sedang mendapatkan ujian sangat berat dari perusahaan. Pikirku, seharusnya laki-laki yang ditugaskan di sini, bukan aku, wanita yang lemah dan banyak penyakit fisik dan psikis. Janganjangan, aku bukan sedang diangkat ke sini, tapi justru dibuang oleh perusahaan, karena selama ini, aku sangat cerewet soal keuangan, terutama penyelewengan dari para atasan di kantor pusat Jakarta. Pikiran buruk ini terjadi, setelah aku menyadari, bahwa daerah tugas baruku adalah bukan tempat pengangkatan, tapi justru tempat pembuangan, terutama bagiku yang selalu mengkritisi orang-orang pusat yang banyak berbuat curang dalam hal keuangan.

 

Malam pertama aku tinggal di rumah itu, aku tak dapat tidur. Karena genset harus dimatikan pukul 24.00, maka aku pun menggunakan lampu semprong. Rumah besar dan cukup mewah, tapi pada setiap kamar menggunakan lampu minyak. Genset hanya berfungsi untuk menyalakan televisi, radio dan computer. Setelah minyak solar habis di tengah, malam, secara otomatis genset itu dimatikan oleh Pak Bon, tukang genset yang tinggal di pavi iun dekat kolam renang. Pak Bon yang sudah sepuh, ditugaskan untuk mematikan dan menghidupkan genset untuk keperluan rumah dinasku. Setelah berkomat kamit berzikir kepada Allah, kurang lebih jam 03.00 dinihari, barulah aku tertidur. Kemudian, aku terbangun pukul 05.45 WIB lalu ambil wudhu ke kamar mandi untuk melaksanakan sholat subuh. Pagi harinya, Fauzi menjemput aku, membawa aku ke kantor cabang di Desa Tahian dan aku berkenal dengan semua staf serta ratusan petani di situ.

 

Tanggal 26 Januari 2001 tengah malam, rumah dinasku diketuk. Pikirku, pengetuk pintu depan itu pastilah Fauzi Haji Hasan atau paling tidak orang suruhannya mengantarkan sesuatu. Tapi begitu pintu itu kubuka, ternyata tidak ada siapa-siapa. Aku mencoba memanggil, tapi tak ada sedikit suarapun yang menyahut. Sementara itu, keadaan di luar sangat gelap. Pohon-pohon tua sekitar rumah tampak terayun diterjang angin malam. Lampu obor di taman terlihat redup dan mengedip-ngedip terancam mati karena hembusan angin kencang.

 

Rasa dingin menerpa tubuhku malam itu. Sapuan angin deras makin mengeras seakan menusuk tulang dan dagingku. Berbeda dengan Jakarta yang tetap panas walau malam sudah menjelang pagi. Karena tidak ada orang, aku kembali masuk rumah dan membenahi barang-barang yang perlu ditata. Saat aku sedang menarik selimut untuk meneruskan tidur, tiba-tiba terdengar lagi suara ketukan pintu. Padahal, gembok pagar terkunci rapat.

 

Pada ketukan kedua ini, aku mulai gamang, galau dan merasakan ada sesuatu yang ganjil. Terlebih saat kubukakan pintu itu lagi, yang ternyata tidak ada pula orang yang menampakkan diri. Aku lalu memanggil lagi dan tak juga ada suara yang menyahut. “Siapa yang mengetuk pintu rumah ini? Jangan macam-macam ya? Saya bisa marah nih!” bentakku, sedikit mengancam.

 

Ketika aku berusaha menutup pintu, tiba-tiba angin kencang menerpa pintu itu hingga terbuka kembali. Aku berusaha mendorong pintu itu, tapi angin teralu deras hingga aku tak mampu menutupnya. Ketika kupaksakan lagi untuk menutup, angin lebih deras lagi menyerang, hingga karena angin itu, aku terdorong ke belakang dan terjatuh. Ketika aku berusaha bangkit, tiba-tiba dari arah luar muncul bayangan hitam sosok wanita berambut panjang menutup mukanya, bertubuh kurus jangkung dan bertubuh bongkok. Aku tersentak dan jantungku terasa mau lepas. Selain kaget, rasa takut tiba-tiba menghujam hebat ke dalam batinku. “Siapakah Anda ini?” tanyaku gemetar.

 

Sosok wanita berjubah hitam itu tidak bicara apa-apa. Mulutnya tertutup rapat di belakang rambutnya yang terurai. Dia hanya berdiri terpaku menghadapku. Walau dalam gelap dan mukanya tertutup rambutnya, tapi aku dapat merasakan bahwa matanya terpanah ke mataku. Dia menatapku dengan tajam dan aku tak berani memandangnya balik.

 

Dengan sisa tenaga yang, aku lalu berteriak minta tolong pada Pak Bon. Tapi sayang, suaraku tak keluar dari mulutku, sehingga Pak Bon tidak dapat menangkap sSuaraku. Bahkan tenggorokan terasa tersumbat dan terasa ada cengkraman cekikan mengganjal leherku. Kering mulutku dan kering ludahku untuk dapat mengalirkan suara dari pita suaraku yang ada. Semua itu terjadi karena rasa takut dan kalut yang bergumpal menjadi satu. Dalam keadaan terdesak itu, aku berusaha mundur dan ingin berlari ke kamar Pak Bon. Atau, paling tidak, aku masuk ke kamar mengunci pintu. Atau berlari ke paviliun belakang berteriak kepada Pak Bon. Tapi saat aku mundur, wanita misterius itu melangkah maju menyerangku. Rasa gugup dan kalut malah membuatku terkencing-kencing. “Oh Tuhan, tolonglah aku, lindungi aku dari marabahaya yang menakutkan ini!” batinku. Aku pun baru ingat berzikir, ingat doa dan meminta perlindungan Sang Khalik.

 

Ketika aku terus berkomat kamit berserah diri secara total pada Allah, perempuan itu menghentikan langkahnya. Saat aku menghambur ke kamar belakang, dia terus maju mendekat. Mungkin karena rasa takut begitu memuncak, maka aku memberanikan diri bertanya padanya. Tapi dia tetap bungkam dan tidak sepatahkatapun ke luar dari mulutnya yang kaku.

 

Malam itu aku lewati bagaikan sedang berada dalam penjara setan. Saat aku tertuduk menyerah, perempuan misterius itu hilang lenyap dalam hitungan detik. Karena pingsan, tak sadarkan diri, aku pun baru terbangun pagi setelah Fauzi Hasan menjemputku untuk ke kantor.

 

Saat aku menceritakan hal ini kepada Fauzi dan Pak Bon, mereka nyaris tanpa reaksi berarti. Mereka tidak tetsentak, tidat kaget dan seakan-akan biasa saja hal itu terjadi. Arkian, memang, ternyata mereka sudah biasa menemukan sosok wanita berambut panjang berjubah hitam.

 

“Dia adalah Kuntilanak perempuari yang menjadi penguasa di daerah ini. Kuntilanak itu adalah kuntilanak ratu, pemimpin dari ribuan kuntilanak yang ada di hutan Tugumulya ini. Ibu jangan kaget, bila dia akar datang bersama ratusan anak buahnya ke rumah ibu, pada suatu malam, satu bulan sekali, biasanya datang di malam jumat kliwon,” ujar Fauzi, yang disambut anggukan kepada oleh Pak Bon.

 

Memang, setelah itu, pada setiap malam Jum’at setiap bulan, kuntilanak itu datang ke rumah. Bahkan bukan cuma satu, sang ratu, tapi ribuan kuntilanak mendekati rumah saya. Anehnya, dengan kasat mata, mata telanjang, aku dapat melihat ribuna kuntilanak tersebut. Mereka berjoget, tertawa cekikikan bersama musik kepak sayap burung hantu yang bertengger di atas pohon trembesi. Mereka menari-manari mengikuti musik mirip musik irama cumbia dari Amerika Selatan.

 

Belakangan, ibarat pepatah, ala bisa karena biasa, maka akupun yang biasa melihat Kuntilanak Tugumulya, tidak takut lagi. Bahkan, para kuntilanak itupun, akhirnya menjadi hiburan bagiku di selama dinas. Yang menyenangkanku, musik mereka dan tariantariannya begitu estetis. Tarian eksotika mereka, mirip gaya tarian striptis. Yang paling menyenangkan lagi, bahwa mereka itu tidak akan mencederai manusia, mereka hanya ingin beinteraksi dan diakui Keberadaan mereka sebagai penduduk asli Hutan Tugumulya.

 

Setelah dinas selama lima tahun di Tugumulya, aku segera pindah lagi ke pusat. Tapi ternyata, kontrakku di Tugumulya diperpanjang sampai lima tahun lagi di daerah itu. Suamiku, Bang Zainal, ternyata baru mencium aroma tidak sedap di Jakarta, bahwa memang aku sengaja dibuang ke daerah ini hingga waktu yang panjang.

 

Aku dibuang ke daerah ini karena orang-orang petinggi di pusat, tidak mau direcoki olehku yang terlalu idealis, kritis dan banyak mengganggu permainan busuk mereka, konpirasi korupsi di jajaran pusat.

 

Tapi, apa yang terjadi? Aku yang telah betah di sini, malah bersuka cita untuk tetap di daerah ini. Bahkan, suamiku yang telah mengambil pensiun dini, mengajak anak-anak pindah ke Tugumulya. Maka itu, sekarang ini, walau sudah tidak bekerja di perusahaan besar ini, aku menjadi pedagang getah karet di sini, menjadi agen besar bersama suami dan tiga anak-anakku. Rumah kami di Jakarta dijual dan kami pun, total pindah ke Tugumulya yang damai. HiduP damai berdampingan dengan makhluk gaib ribuan kuntilanak yang ternyata berbaik hati 5 (Seperti ceritakan Nyonya Zainal Arifin kenada penulis). Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: bomoh.online
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Panggonan Wingit: ISTANA GAIB DI SITU GINTUNG

KyaiPamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: VILLA ANGKER BALI

adminbomoh

Kisah Kyai Pamungkas: UPACARA TENGKORAK WANITA MALAM

KyaiPamungkas
error: Content is protected !!